Mirror of Reality
Mirror of Reality memantulkan bayangan pasukan bertopeng yang memenuhi Shrine of Origins.
Jumlah mereka bukan cuma ratusan. Bentuk Phantom yang muncul bermacam-macam, tapi masing-masing jelas memiliki kekuatan yang nyata.
Secara umum, ada beberapa jenis Treasure Vault. Yang berbentuk kastil biasanya terkenal karena sering diserang oleh pasukan Phantom dalam jumlah besar. Tapi kalau Treasure Vaultberbentuk kuil dianggap sebagai versi yang lebih kuat dari yang berbentuk kastil… sepertinya itu memang benar.
Menghadapi musuh yang punya perbedaan kekuatan yang jauh lebih besar darinya—itulah momen yang selalu membuat Adler merasa bersemangat.
Sekarang, lawannya adalah Treasure Vaultberbentuk kuil, tantangan yang belum pernah dia hadapi sebelumnya. Mereka kekurangan pasukan. Ditambah lagi, ada Hunter yang biasanya tidak ada di pihak mereka… dan yang lebih mengejutkan, Thousand Tricks bilang dia bisa menangani setengah dari pasukan Phantom itu sendirian.
Adler yakin. Pertarungan ini pasti akan menjadi bagian dari sejarah Night Parade.
Di pinggiran Yggdra, di sebuah taman sepi yang dikelilingi alam, Adler menyeringai membayangkan pertempuran yang akan datang.
“Menarik… kukuku…”
“Sudah lama juga tidak bertarung dengan jumlah sekecil ini.”
Quint duduk bersila dengan ekspresi serius. Di depannya berdiri satu-satunya prajurit kartu yang tersisa—tentara terakhir dari pasukan Quint.
Biasanya, cara bertarung Night Parade itu simpel: mengandalkan jumlah untuk menggempur musuh sampai hancur. Mereka terbiasa memastikan keunggulan jumlah sebelum menyerang. Jadi, menghadapi pasukan besar dengan jumlah kecil seperti ini… jelas bukan sesuatu yang mereka biasa lakukan.
Untuk menaklukkan monster baru pun, mereka butuh kekuatan lebih dulu.
Apalagi, di antara mereka bertiga, hanya Quint yang kehilangan kartu asnya—Dark Cyclops, Zorc.
Dan Prajurit kartu ini adalah pasukan Quit terakhir, mereka mungkin bukan yang terlemah, tapi mereka terbiasa bertarung dalam kelompok. Sendirian, jelas tidak akan cukup.
“Adler masih punya Yuden, Uno juga ada Ripper. Tapi aku? Aku ini jenderal, tahu? Gimana ceritanya jenderal cuma punya satu prajurit?”
“Prajuritmu kan sudah diperkuat pakai Mana Material? Lagi pula, dia juga yang merawat Yuden, kan? Berkat dia, regenerasinya bisa tepat waktu.”
“Pasukanku bukan buat jadi babysitter!!”
Memang, Star-Eater Centipede punya daya tahan hidup yang luar biasa, tapi kalau cuma kepalanya yang tersisa, dia tidak bisa ngapa-ngapain.
Saat Adler dan yang lain belajar dari Thousand Tricks, prajurit kartu itulah yang mengurus Yuden yang sedang dalam masa pemulihan.
Mana Material di Yggdra ini memang sangat kental, tapi tanpa ada yang mengurus makanan, air, dan menyiapkan potion dari tumbuhan obat, regenerasi Yuden mungkin tidak akan selesai tepat waktu.
Kalau mereka punya waktu lebih lama, mungkin Yuden bisa pulih sepenuhnya dan mereka bisa membangun kembali pasukan. Tapi, merekrut monster sembarangan juga tidak ada gunanya kalau lawannya Phantom di Shrine of Origins.
“Yah, kita masih punya Ripper, jadi pasti bisa diatasi, kan~? Quint kan cuma punya prajurit kartu itu, jadi kenapa tidak turun sendiri dan bertarung bareng?”
“Pedangku diambil sama mereka.”
Sebagai Swordsman, Quint punya keterampilan bertarung yang luar biasa. Monster jenis prajurit tidak akan tunduk pada pemimpin yang lemah, jadi dia selalu menjaga kemampuan bertarungnya. Di Night Parade, dia salah satu yang paling kuat dalam duel individu… kalau tidak menghitung monster, tentu saja.
Sampai beberapa waktu lalu, dia masih punya pedangnya. Tapi waktu mereka pertama kali bertarung melawan Grieving Souls, pedangnya direbut.
Quint menghela napas dengan kesal.
Uno, yang sedari tadi santai, langsung nyeletuk.
“Ambil lagi aja, kan? Sekarang kita ada di pihak yang sama. Kalau langsung minta ke Thousand Tricks, dia pasti balikin.”
“!! Iya juga!!”
“Kita harus menyiapkan semuanya dengan baik, biar bisa menaklukkan lebih banyak lagi…”
Dengan lidah menjilat bibir, dia menatap Phantom yang terpantul di cermin. Sepertinya cuma para dewa yang bisa menyadari kalau mereka sedang diawasi lewat Mirror of Reality, jadi selama mereka tidak melihat langsung ke altar, mereka tidak perlu khawatir ketahuan.
Metode untuk menjinakkan Phantom masih belum jelas. Tapi, operasi kali ini adalah kesempatan yang pas untuk mencobanya.
Tidak ada lagi menunggu pergerakan Thousand Tricks dengan pasrah.
Kalau fase dua berhasil, Treasure Vault bakal melemah dan Phantom juga bakal lenyap. Yang dibutuhkan Adler sekarang adalah jumlah.
Kesempatan ini cuma ada sekarang.
Dari cerita Ruine, Adler sudah dapat beberapa informasi soal Treasure Vault.
Katanya, ada dua jenis Phantom di sana: yang dulunya penduduk Yggdra dan yang memang muncul sebagai Phantom dari awal.
Sebagai Guide, Adler punya insting tajam buat membedakan mana yang mana.
“Warna topengnya… Phantom yang dikirim pria itu punya berbagai macam bentuk, tapi semuanya pakai topeng emas! Sedangkan Ruine, topengnya hitam! Kalau topeng melambangkan keimanan mereka pada dewa Keller, berarti warna topeng menunjukkan asal-usul mereka!”
Meskipun disebut Phantom, mereka tetap punya akal.
Memahami cara berpikir makhluk lain adalah langkah pertama seorang Guide.
Keller jelas bukan sembarangan saat menyuruh Ruine dan Finis untuk menjelajahi sekitar.
Kebetulan itu tidak bisa diprediksi. Tapi, kalau sesuatu memang sudah dirancang sejak awal, maka Thousand Tricks bisa menjebak Phantom yang dulunya adalah penduduk Yggdra.
Alasan Keller membiarkan Ruine berkeliaran di luar Treasure Vault jelas—kepercayaan dia terhadap Ruine lebih rendah dibanding para Familiar lain yang memang muncul langsung dalam wujud Phantom. Dan benar saja, saat Yggdra diserang, Ruine malah ragu dan bingung, sampai-sampai kekuatan Phantom-nya dicabut.
Sekarang, Adler mengamati pintu masuk Shrine of Origins lewat Mirror of Reality. Dari sini, dia bisa melihat pola yang jelas di antara Phantom yang berkumpul.
Phantom dengan topeng hitam ada di luar, sedangkan yang bertopeng emas ada di dalam. Jumlah yang bertopeng emas jauh lebih banyak. Dan semakin dekat ke altar, semakin banyak Phantom bertopeng emas yang muncul.
“Phantom bertopeng hitam biarkan saja jatuh ke tangan mereka. Phantom yang dibawa Thousand Tricks juga semuanya bertopeng emas. Pria itu jelas sudah tidak butuh Phantom biasa. Sedangkan yang mau direbut kembali oleh Selene dan yang lain cuma rekan-rekan mereka. Keuntungan kita tidak bertabrakan.”
“T-Tapi, Adler… Gimana caramu menjinakkan mereka? Kita masih belum tahu caranya, kan?”
Quint menyilangkan tangan, wajahnya penuh keraguan. Benar juga, sejak mereka jadi murid Thousand Tricks, pria itu belum pernah sekalipun menunjukkan cara menjinakkan Phantom.
Tapi Adler cuma menyeringai penuh percaya diri.
“Tidak, aku sudah punya dugaan. Petunjuknya… ada di mana-mana.”
“!? Benarkah itu!?”
Uno membelalakkan mata dan menatap Adler. Wajar sih, mereka baru saja frustrasi karena tidak nemu caranya, terus sekarang Adler tiba-tiba bilang dia sudah tahu.
“Ini belum pernah kejadian sebelumnya. Kedengarannya gila, tapi sebenarnya sangat simpel. Uno, kemarin aku mengintip Thousand Tricks lewat Mirror of Reality. Dan—aku melihatnya.”
Awalnya, dia tidak percaya. Tapi, semuanya masuk akal. Phantom punya struktur mental yang beda dari monster. Mereka hampir tidak punya rasa takut terhadap kematian, jadi metode yang biasa dipakai untuk menjinakkan monster tidak akan berhasil.
Tapi di sisi lain… mereka tetap punya akal.
“Aku melihatnya! Thousand Tricks mengobrol dengan Phantom pakai alat komunikasi! Sejak kita sampai sini, kita belum pernah lihat dia bertarung, kan? Itu jawabannya! Cara menjinakkan Phantom kemungkinan besar… adalah lewat negosiasi!!”
“!!”
“Itu konyol… Tapi, masuk akal, mungkin? Kita memang tidak pernah coba bicara langsung dengan Phantom. Mereka bukan makhluk hidup, kan!?”
Uno dan Quint melongo, terkejut mendengar kata-kata Adler.
Mereka bahkan tidak pernah kepikiran soal itu. Jujur aja, Adler juga sama.
Yang dibutuhkan di sini adalah—cara berpikir yang berbeda. Sesuatu yang terlalu simpel sampai orang tidak sadar. Lagipula, siapa yang waras bakal coba negosiasi pakai kata-kata dengan Phantom yang cukup kuat untuk mengerti bahasa manusia? Kedengarannya seperti orang yang sudah kehilangan akal sehat.
Tapi kalau dipikirkan lagi dengan tenang, semua yang mereka lihat sejak datang ke Yggdra menunjukkan kalau teori ini masuk akal.
Keputusan untuk berlayar ke arah Zebrudia adalah pilihan yang tepat. Kalau saat itu mereka tidak bertemu Grieving Souls, mereka tidak akan sampai ke titik ini. Mereka masih bakal terjebak dalam pemikiran lama dan tidak pernah melihat dunia yang lebih luas.
“Layak dicoba, kan? Hari ini, kita bakal membuka pintu baru sebagai Guide!”
Selama ini, mereka sudah menjelajahi berbagai tempat berbahaya, bertemu dengan monster-monster yang kuat dan indah, bertarung melawan mereka, dan bahkan menaklukkan mereka. Tapi ini pertama kalinya mereka akan masuk ke Treasure Vault level 10.
Phantom para dewa—makhluk yang ditakuti dan dibenci oleh para Hunter di seluruh dunia.
Seberapa kuat mereka sebenarnya? Dan metode apa yang bakal dipakai Thousand Tricks untuk menghadapi mereka?
Adler menyeringai kecil, merasakan campuran antara ketakutan dan antisipasi.
Pertempuran besar sudah semakin dekat.
◇
Di bagian terdalam Shrine of Origins, ada sebuah altar hitam pekat. Tempat itu terbangun dari ingatan bintang-bintang menggunakan Mana Material, dan di sanalah dewa bertopeng, Keller, akhirnya terjaga.
Keberadaan seorang dewa sendiri sudah menghabiskan energi dalam jumlah besar. Keller, yang masih belum mendapatkan tubuhnya kembali dan berada dalam kondisi yang tidak stabil, hanya dengan bangun saja sudah memberikan beban besar pada Treasure Vault.
Para pendeta bertopeng yang berjaga di dalam ruangan altar langsung menyadari kalau kesadaran sang dewa mulai muncul. Mereka membuka mata mereka, seolah terhubung dengan kehendak ilahi.
Aura jahat dari kesadaran yang terbangun itu menyebar ke seluruh kuil. Dan Keller segera memahami alasan kenapa dia terbangun.
Perasaan tidak enak.
Ada sesuatu yang terasa janggal. Sesuatu yang mengganggu ketenangannya. Nalurinya sebagai dewa langsung menarik kesadarannya ke permukaan.
Perasaan itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Bukan karena dia melihat tanda-tanda jelas dari sesuatu.
Tapi bagi seorang dewa, firasat saja sudah cukup buat menggerakkan para Familiar-nya.
Pertahanan Shrine of Origins sangat kuat. Jumlah Familiar-nya juga sudah cukup. Tapi kalau cuma bertahan saja, mereka malah bisa terdesak perlahan. Dan tidak diragukan lagi, firasat buruk ini pasti datang dari ancaman luar.
Di sekitar Shrine of Origins, memang ada beberapa makhluk cerdas yang tinggal di sana.
Sudah lama mereka tidak menunjukkan perlawanan, tapi siapa tahu mereka sedang merencanakan sesuatu. Selama ini mereka dianggap remeh dan diabaikan, tapi kalau mereka benar-benar berniat menyerang kuil, itu cerita lain.
Sekarang, kekuatan Keller sudah sebagian dialokasikan untuk memperkuat penghalang. Tidak ada yang bisa masuk dari luar, dan di dalam kuil pun sudah ada sistem pencegahan untuk mencegah lompatan ruang. Tapi sebagai langkah tambahan, dia memberikan perintah ilahi untuk meningkatkan pertahanan.
Sebagian pasukan Shrine of Oigins dikirim keluar untuk menghabisi musuh dari luar. Kebanyakan yang dikirim adalah pengikut baru yang sudah menerima kekuatan dari Keller. Kalau mereka kalah sekalipun, itu bukan masalah besar.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya tinggal menunggu waktu sampai tubuhnya pulih sepenuhnya.
Setelah memberikan perintah, Keller kembali tenggelam dalam tidur yang dalam.
◇
Dan tanpa sempat benar-benar mempersiapkan diri, hari pertempuran pun tiba.
Udah berapa kali aku terjun ke pertempuran besar seperti ini? Kalau dihitung termasuk kejadian di mana aku kebawa tanpa sadar, pasti jumlahnya udah lebih dari sepuluh kali.
Aku terbangun di tempat tidur yang bersih, berusaha menahan rasa mual, lalu mulai bersiap-siap.
Cuci muka, makan sarapan yang udah disiapkan, lalu ganti pakaian.
Seperti biasa, aku pakai set perlengkapan andalan, termasuk Safe Ring yang bisa bikin penghalang. Tapi kali ini, aku nggak pakai Perfect Vacation.
Alasannya? Yah… salah satunya karena aku mulai takut sama perubahan drastis yang terjadi pada Selene. Tapi alasan utamanya? Aku lupa ngambil balik Perfect Vacation dari Selene.
Sebenarnya, aku masih punya relik lain, tapi aku milih buat nggak memakainya karena tujuanku kali ini cuma buat ngulur waktu. Lagipula, aku bakal bawa Mimic-kun, jadi lebih baik bergerak sefleksibel mungkin.
Setelah memastikan semua beres, aku berangkat ke gerbang Yggdra, tempat semua orang bakal berkumpul.
Saat aku sampai, mereka udah ngumpul semua.
Kali ini, nggak ada yang tumbang sebelum pertempuran seperti waktu operasi pemurnian kutukan Luke. Ada Grieving Souls, Starlight, Night Parade, dan para magi dari Yggdra. Suasana di sini dipenuhi ketegangan khas sebelum pertempuran besar.
Aku sendiri sempat tidur nyenyak, tapi sepertinya yang lain udah bangun lebih dulu buat bersiap-siap.
Padahal kita semua bakal menghadapi misi berbahaya, tapi mereka malah kelihatan semangat banget.
Jujur aja, mereka semua—kecuali aku—adalah petarung jenius. Normalnya, aku harusnya bangga bisa bertarung di samping mereka. Tapi karena aku satu-satunya orang yang kemampuannya nggak ada apa-apanya, aku malah ngerasa makin malas.
“…Nggak usah nunggu aku juga nggak apa-apa. Peranku nggak terlalu penting, kok.”
Aku bilang gitu setengah serius. Aku udah dengar gambaran besar soal rencana yang disusun Sitri.
Tugasku? Cuma menarik perhatian Phantom selama Sitri dan yang lain mengaktifkan Mana Material Agitator. Udah jelas ini tugas berbahaya, tapi dibanding harus bawa perangkat yang aku sendiri nggak yakin bisa aktifin, ini masih jauh lebih baik.
Lari dari musuh? Aku udah sering ngelakuin itu.
Lalu, seperti biasa, Sitri nyapa aku dengan semangat tinggi.
“Selamat pagi, Krai-san! Jangan ngomong gitu dong, paling tidak biarkan kami bertarung bareng di awal! Lagipula, kalau Krai-san ada, semua orang bakal makin semangat!”
Aku jadi penasaran, gimana sistem kerja yang bikin kehadiranku bisa meningkatkan semangat mereka?
Memang sih, semua orang kelihatan bersemangat. Tapi ini jelas bukan gara-gara aku.
Tapi tiba-tiba ekspresi Sitri sedikit berubah, kelihatan agak cemas.
“Oh iya… kamu yakin tidak mau bawa Mana Material Agitator? Kalau perlu, kami bisa kurangi jumlah yang dibawa tim kami dan dialokasikan padamu—”
Kayaknya Sitri benar-benar pengen aku kerja lebih keras. Aku refleks ngeluh dalam hati.
Dikasih perangkat berbahaya yang aku bahkan nggak ngerti cara pakainya? Nggak, makasih. Lagi pula, katanya jumlah perangkat ini terbatas. Kalau benda seberharga itu dikasih ke aku, malah bakal jadi beban.
“Nggak perlu, nggak perlu. Aku punya caraku sendiri. Aku juga udah siapin beberapa hal, kok. Lagipula, kalau aku ambil satu perangkat itu dan malah bikin masalah di pihak kalian, bakal repot, kan?”
Sitri kelihatan nggak puas, tapi dia akhirnya menyerah dan mengeluarkan satu perangkat tambahan.
“Buat jaga-jaga, kami sudah siapkan satu lagi. Kalau perlu, pakai aja.”
“…Makasih. Ya, walaupun aku rasa nggak bakal butuh, kalau ada keadaan darurat mungkin aku pakai.”
“…Jangan cuma kalau darurat. Pake aja dari awal, desu! Serius deh, Manusia Lemah, kamu itu terlalu seenaknya, desu!”
Jadi mereka udah nyiapin juga ya… Padahal perangkat itu berharga, lebih baik dimanfaatkan sama mereka aja, tapi ya sudahlah.
“…Kak, cuma mau memastikan aja, kamu beneran mau tangani bagian utara sendirian? Kamu ada rencana, kan? Kenapa nggak ikut aja sama kita?”
Jarang-jarang nih, Lucia keliatan agak cemas waktu nanya begitu.
Mungkin tugas yang dikasih padaku ini lebih berbahaya dari yang kukira.
Tapi, bertarung? Ogah banget! Meskipun emang berbahaya, aku lebih pilih kabur buat ngulur waktu daripada harus bertarung.
Lagian, kali ini aku lumayan punya rencana juga, lho.
“Tenang aja. Aku udah minta tolong dengan sepenuh hati, dan akhirnya ada yang mau bantuin.”
“??? Minta… tolong?”
Siapa sangka, sujud minta tolong bisa berguna juga. Mungkin ini emang teknik andalanku.
“Udahlah, kamu fokus aja sama tugasmu, Lucia. Kelancaran rencana ini tergantung sama kalian. Aku sih bakal usaha sebaik mungkin, tapi keefektifannya masih agak diragukan. Jadi kamu anggap aja aku bakal gagal, terus rancang strategi berdasarkan itu. Jangan lupa, tugasku cuma sekadar bantuin dikit.”
“Anggap gagal duluan…? Hah, yaudah deh, kalo kakak bilang gitu.”
Aku kasih peringatan biar mereka nggak berharap banyak padaku. Emang ujung-ujungnya aku harus ke luar juga, tapi sejujurnya aku sih lebih milih diem di dalam aja.
…Ya tapi, di situasi begini, aku doang yang nunggu di Yggdra juga aneh.
Pas aku lagi nenangin diri sendiri, Sitri mulai bicara ke semuanya.
“Baiklah, semuanya! Jalankan rencana sesuai strategi!”
“……Eh, bentar. Aku belum dikasih tahu rencana, lho?”
“?? Tentu saja, Krai-san bisa bebas bergerak seperti biasa. Tempat kita juga beda, jadi kalau ada yang terjadi, kita yang bakal menyesuaikan. Santai aja, anggap aja kamu lagi naik kapal gede!”
Kapal gede apaan… Rasanya lebih kayak aku doang yang naik rakit di tengah laut. Sitri, boleh dong nebeng di kapalmu?
Tapi yaudah, karena aku udah meyakinkan mereka berkali-kali, harusnya mereka nggak bakal terlalu kecewa kalo aku ternyata jadi beban. Aku cuma bisa angkat bahu, terus pasang senyum ala detektif keren.
Kami mulai jalan dalam formasi, menelusuri jalan setapak di hutan.
Langit ketutup awan tebel, dan hutan yang emang udah gelap jadi makin suram. Rasanya ada firasat nggak enak.
Pas aku nengok ke atas, keliatan World Tree yang gede banget. Tapi tujuan kami masih jauh sebelum itu.
Di peta yang dikasih sebelum ini, ada delapan titik pertahanan yang ditandai sesuai nama tim yang dilokasi. Lokasinya berjajar melintang di depan Treasure Vault bagian selatan. Kayaknya di situ bakal jadi jalur baru untuk aliran Mana Material.
Tapi, di bagian utara nggak ada tanda sama sekali. Sepertinya mereka percaya penuh denganku.
Aku sih sadar diri, paling nggak walaupun kagak berguna, aku harus pastikan nggak jadi penghalang.
Sepanjang perjalanan, suasananya sunyi. Ketegangan terasa di udara. Nggak ada monster yang nyerang, ini beneran kayak “ketenangan sebelum badai.”
Akhirnya, kami sampai di tujuan pertama dengan selamat.
Tempatnya lumayan terbuka, pepohonannya nggak terlalu rapat. Entah tempat ini gampang dipertahankan atau nggak, yang jelas pandangannya cukup luas. Di deket situ juga ada mata air jernih yang mengalir.
Mungkin di sini spirit elemen air bakal bisa dipanggil dengan kekuatan penuh.
“Thousand Tricks, panggil Miles.”
“Krai-san, keluarkan perangkatnya sekarang.”
“Heh… Serahkan saja padaku!”
Mimic-kun juga ada di sini, jadi mungkin aku lebih cocok jadi kurir aja mulai sekarang? Kayaknya itu peran terbaik yang bisa aku ambil. Masalahnya sih, Mimic-kun itu bisa dipakai siapa aja sih…
Sesuai permintaan Selene dan Sitri, aku nyuruh Mimic-kun buat ngeluarin perangkat dan Miles.
Perangkat pengaduk Mana Material ini adalah perangkat paling aneh yang pernah aku lihat.
Bentuknya kayak tabung kaca panjang melingkar. Bagian bawahnya sempit, makin ke atas makin lebar, sekilas kelihatan kayak corong minyak. Di dasarnya ada kotak kaca kecil tempat buat masukin sumber tenaga. Katanya sih, ini adalah puncak dari penelitian Sitri, perangkat yang bisa bikin Mana Material jadi kacau. Makin aneh aja.
Tingginya sekitar dua meter, lebarnya satu meter. Ini udah hampir maksimal ukuran yang bisa dimasukin ke mulut Mimic-kun.
Miles kelihatannya agak lebih pucat dibanding terakhir aku lihat. Sejak kejadian dia kehilangan akal gara-gara Mana Material, dia emang menghindari tempat-tempat yang bisa ngaruh ke dia. Tapi kayaknya sekarang dia udah lumayan pulih.
Bentuknya masih sama, kayak bakpao raksasa yang bening dan berkilauan, dengan mata bulat polos yang sekarang lagi menatap Selene.
Kali ini, Selene bakal ngejaga salah satu perangkat ini bareng Miles.
Selene yang sekarang berdiri di depan Miles benar-benar beda dari biasanya. Nggak ada lagi wajah santainya, sekarang dia kelihatan tegas dan penuh percaya diri.
Ruine berdiri di depan Miles dan berbicara dengan penuh hormat.
“Senang bertemu lagi, Miles. Terima kasih sudah melindungi Yggdra. Bisa bertarung bersamamu lagi adalah sebuah kehormatan.”
Miles mulai mengeluarkan suara mirip lonceng kecil.
Itu bahasa spirit. Dan seperti biasa, aku nggak paham sama sekali.
Ruine memasang ekspresi serius sambil mendengarkan. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata.
“… Aku mengerti. Kemungkinan besar, ini akan jadi pertempuran terbesar kita. Musuh terlalu kuat. Tapi kali ini, kita bukan hanya mengandalkan orang-orang Yggdra. Kita punya sekutu dari ras lain, bahkan mereka yang dulu berpisah dari kita. Kita juga punya strategi. Kami akan bertarung sekuat tenaga. Demi kehormatan kaum Spirit Noble… tolong, pinjamkan kami kekuatanmu.”
Aku nggak tahu apa yang barusan dia bilang, tapi dia kelihatan sangat serius. Aku sih nggak punya motivasi sebesar itu buat sesuatu yang baru bakal terjadi seratus tahun lagi, tapi ya… masalahnya ada di Luke, kan?
Ruine tiba-tiba menatapku. Matanya merah menyala seperti terbakar semangat. Lalu, Miles yang tadi berhadapan dengan Ruine, sekarang malah bergerak mendekatiku.
Bersamaan dengan suara lonceng kecil itu, tubuhnya mulai berkilauan.
Angin bertiup. Bahkan aku yang nggak terlalu peka bisa merasakan aura besar yang terpancar darinya. Spirit elemen adalah makhluk yang melampaui batas biasa. Katanya, yang paling kuat di antara mereka bahkan bisa disebut dewa.
Aku awalnya cuma manggut-manggut sambil senyum, tapi lama-lama aku mulai bosan.
Jujur aja, semua masalah ini kan berawal dari pertemuanku sama Miles yang kehilangan akal waktu itu.
Aku sih nggak mau nyalahin dia atau gimana, tapi kalau dipikir-pikir, bukankah agak keterlaluan buat minta persetujuan seseorang dengan bahasa yang nggak ngerti? Aku juga salah sih, asal manggut aja!
Begitu suara loncengnya berhenti, aku langsung ngomong dengan jujur sambil senyum lebar.
“Haha… Aku nggak ngerti sama sekali, sih.”
“?!”
Miles yang tadi bergerak naik turun langsung berhenti. Ruine dan yang lainnya juga langsung menahan napas.
Kayaknya semua magi bisa ngerti bahasa spirit, ya…
“Ya, intinya sih… apapun yang terjadi, kita cuma bisa berusaha semaksimal mungkin. Persiapan kita sudah mantap, rencana Sitri juga (mungkin) sempurna. Aku bakal melakukan bagianku, jadi kamu juga tolong jaga Selene, ya!”
Sebagai seorang Hunter, pasti ada saat-saat di mana kita harus benar-benar menentukan tekad. Aku sendiri udah sering banget berada di situasi hidup dan mati.
Kali ini, aku nggak sendirian. Ada banyak petarung di sini. Ada Sitri, yang bisa diandalkan sebagai komandan. Dibanding biasanya di mana aku harus bertarung sendirian, ini jauh lebih nyaman.
Btw, aku belum sempat manggil Ark, ya? Gara-gara Selene tiba-tiba jadi nyaman karena dampak relik, aku sampai lupa. Walaupun kemungkinan dia juga nggak bakal datang sih…
“Yah… Kakak ada benarnya juga. Model Treasure Vault seperti ini terlalu sedikit contoh kasusnya. Mau bagaimana pun, kita cuma bisa maju dengan tekad penuh.”
“Umu.”
“A-Aku juga percaya sama Master!”
Tino, tolong curigai aku sedikit lebih banyak lagi.
Terakhir, Lapis mendengus pelan dan bicara ke Miles dan Selene.
“Hmph… permintaan maaf sekarang tidak ada gunanya. Masalah World Tree itu masalah dunia, jadi wajar saja kalau kita bertarung. …Tapi ya sudahlah, aku akan bilang ini sekali saja. Kalau rencana ini berhasil, aku bakal pastikan kalian bayar imbalannya dengan layak. Bagi Starlight, ini urusan internal. Tapi bagi Grieving Souls, tidak begitu. Aku tidak mau nama baik kaum Spirit Noble semakin tercoreng.”
Kudengar kaum Spirit Noble itu terkenal baik sama sesama mereka, tapi Lapis kayaknya nggak peduli siapa lawannya, tetap adil aja.
Dan sepertinya, Miles tadi ternyata minta maaf padaku.
Sama seperti yang dibilang Lapis, permintaan maaf itu nggak perlu. Waktu nggak bisa diputar balik, dan jujur aja, kalau pun kejadian itu nggak terjadi, kemungkinan besar situasinya bakal tetap mirip-mirip kayak sekarang. Aku emang apes dari dulu…
“Kami paham. Penduduk Yggdra tidak akan pernah lupa kebaikan yang kami terima. Kalau masalah ini selesai, kami akan memberikan imbalan apapun yang kalian inginkan.”
Wah, bilang “apapun yang kalian inginkan” gitu berasa keren banget.
Tapi ya, di dunia hunter, imbalan dan risiko itu selalu seimbang. Kalau imbalannya gede, berarti kerjaannya juga gede. Dengar kata-kata itu rasanya makin bikin beban di pundakku bertambah. Aku harus pasang pagar pengaman dulu sebelum kena mental.
“Imbalan nggak perlu, kok. Lagi pula, kalau lagi susah kan kita harus saling bantu. Belum tentu juga kami bisa banyak membantu.”
“!? Manusia… kamu benar-benar tidak punya ambisi, ya…”
Selene membelalakkan mata kaget, kayak terkesan banget.
Kris dan yang lain juga bengong, sementara Lucia dan yang lain yang udah biasa lihat aku begini cuma bisa pasang muka pasrah.
Bukan aku nggak punya ambisi, yang aku nggak punya itu rasa tanggung jawab.
Dapat imbalan itu berarti ada tanggung jawab yang harus aku tanggung. Tapi kalau aku nggak nerima imbalan, terus nanti terjadi masalah dan aku nggak bisa ngapa-ngapain, aku bisa langsung bilang, “Ya, aku kan nggak dibayar buat ini.” Selesai perkara.
Sitri, yang ngurus keuangan partyGrieving Souls, cuma bisa senyum kecut sambil menepuk pundakku.
“Aduh, Krai-san, kamu bilang gitu lagi… yah, pengalaman ini juga akan berharga, sih.”
Ya udah, terserah. Kalau memang perlu, Sitri pasti bakal tetap nagih bayaran. Anak-anak di party ini semuanya cerdik, jadi aku percaya aja.
Setelah menenangkan diri, Sitri mulai menjelaskan.
“Sebenarnya lebih bagus kalau perangkat ini dikubur di dalam tanah, tapi karena kita memperhitungkan gangguan dari Phantom, kita pilih untuk memasangnya di atas tanah supaya lebih cepat. Begitu perangkatnya aktif dan efeknya mulai menyebar ke Shrine of Origins, musuh pasti bakal bereaksi. Kita tidak tahu butuh berapa lama sampai efeknya terasa di sana, tapi justru itu yang kita harapkan. Kalau mereka memakai kekuatan tanpa ada suplai tambahan, waktu sampai Phantom benar-benar lenyap bakal jadi lebih singkat.”
Jadi kita nggak tahu berapa lama efek perangkat ini bakal terasa di Treasure Vault… Sepertinya bakal jadi pertarungan panjang.
Ya udah, kalau aku udah berhasil bikin musuh sibuk, aku bakal kabur masuk ke Mimic-kun.
Perangkat yang kita taruh di tanah terlihat agak rapuh, tapi ada kesan kokoh seperti patung seni.
Sitri memandang perangkat itu dengan puas sebelum berbicara.
“Kita sendiri yang menilai apakah rencana ini berhasil atau tidak. Tepat pukul sepuluh, kita mulai operasi—aktifkan perangkatnya! Untuk bisa mengubah aliran Mana Material yang berkumpul di World Tree, kita harus mengaktifkan perangkatnya secara bersamaan.”
Semua orang mendengarkan dengan serius. Terakhir, Sitri mengambil sesuatu dari tasnya—sebuah batu permata besar berwarna biru—lalu menyerahkannya kepadaku.
“Kamu pasti sudah tahu, tapi ini adalah batu sihir, sumber energi perangkatnya. Tinggal pasang ini, dan perangkatnya langsung aktif. Aku kasih ke kamu, ya.”
“Oh, makasih. Aku bakal pakai sesuai situasi.”
Jadi cukup dipasang dan perangkatnya langsung nyala? Ternyata lebih gampang dari yang aku kira. Bahkan aku pun bisa melakukannya.
“Aku akan bagikan perlengkapan yang dibutuhkan. Perangkat ini kuat, tapi tetap saja dasarnya dari kaca. Jadi hati-hati bawaannya. Kalau sampai pecah di jalan, kita semua bakal repot!”
Dia mulai mengeluarkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk operasi dari dalam Mimic-kun dan membagikannya ke semua orang.
Mana-Material Agitator, jam, satu set potion untuk pertempuran, dan batu sihir sebagai sumber tenaga perangkat itu.
Mana-Material Agitator yang dikeluarkan beragam ukurannya, tapi total ada delapan buah.
Setelah semuanya sudah dibagikan, Adler menatap batu sihir yang dia terima dari Sitri dengan penuh minat lalu berkata,
“Kalau begitu, kami bakal mulai persiapan. Kami juga mau lihat dulu kondisi tempat yang harus kami jaga.”
“Quint, urusan bawa perangkatnya tanggung jawabmu, ya.”
“Iya, iya, aku tahu!”
Prajurit kartu setinggi satu meter yang Quint bawa mengangkat perangkat itu seperti sedang memeluknya. Aku nggak tahu dia dapat makhluk itu dari mana, tapi meskipun kelihatan mewah dan megah, ternyata cukup kuat juga.
Lalu, Quint menatapku.
“Oh iya, Thousand Tricks. Balikin pedang yang kau rampas dariku, bisa?”
Ah, benar juga… Liz yang ngambil waktu itu.
“…Ya sudah lah. Tanpa senjata yang layak, kamu nggak bakal bisa bertarung kan?”
Sebenarnya, aku ogah ngembaliin. Tapi mau gimana lagi. Memang Night Parade itu bandit sejati, tapi kali ini mereka juga bagian dari operasi ini. Mereka punya peran yang lebih penting daripada aku, dan kalau mereka kalah dengan mudah juga bakal merepotkan.
Dulu mereka berhasil kabur dari Grieving Souls, tapi waktu itu mereka punya pasukan. Tanpa pasukan, seberapa kuat mereka bisa bertarung masih jadi tanda tanya.
“Adler, gimana kabar kelabang itu?”
“…Udah sembuh total. Berkat kalian juga. Yuden!!”
Begitu Adler memanggil namanya, tanah di bawahnya mulai bergetar hebat. Tanah terangkat, taring tajam menyembul keluar, dan tubuh besar berwarna merah seperti besi panas mencuat, merobek bumi.
Kelabang raksasa itu mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dengan Adler di punggungnya, lalu mengeluarkan raungan aneh.
Terakhir kali aku melihatnya itu pas di pertempuran di Treasure Vault… dan ukurannya tetap gila. Segede gaban.
Aku sudah pernah lihat monster serangga sebelumnya, tapi yang sebesar ini? Baru kali ini.
Katanya ini spesies kuno, kan? Kalau zaman dulu banyak serangga segede ini berkeliaran, aku sungguh bersyukur terlahir di era sekarang.
Liz yang dari tadi memperhatikan Yuden dengan mata tajam akhirnya menyipitkan mata dan berkata dengan nada ketus,
“Kayaknya lebih pendek dari sebelumnya. Aman tidak itu?”
“Semua bagian tubuhnya kecuali kepalanya sempat hancur. Mau gimana lagi? Tenang aja, tak ada masalah. Bahkan lebih kuat dari sebelumnya karena udah menyerap banyak Mana-Material.”
Waktu itu aja dia bisa ngelawan pasukan Phantom di Treasure Vault level 10 dan bikin pertarungan berakhir seri… Sekarang dia malah makin kuat? Kayaknya nggak ada yang perlu dikhawatirin, tapi tetap aja rasanya campur aduk.
Uno dengan ringan melompat ke punggung Yuden, lalu melambaikan tangan ke arah kami.
“Kalau ada apa-apa, kami bakal kasih kabar~ Semoga beruntung~”
“Thousand Tricks, aku bakal lihat aksimu lewat Mirror of Reality. Aku sudah tidak sabar nih!”
Mereka memang bandit, tapi kalau udah kerja sama begini, aku jadi nggak bisa terlalu kesal sama mereka…
Aku menghela napas lalu melambaikan tangan saat melihat Adler dan yang lainnya pergi.
Lapis berdiri, menatap anggota Starlight, lalu berbicara dengan penuh semangat.
“Kita juga berangkat. Kita tidak boleh kalah dari Night Parade.”
Mereka kelihatan semangat banget. Kalau aku diam di sini lebih lama, aku bisa-bisa kebawa arus dan harus ikut bertarung juga.
Aku sudah dapat semua yang aku butuhkan dan sudah dengar rencana mereka. Sebelum mereka berekspektasi lebih, aku harus segera pergi.
“Kalau gitu, aku juga cabut dulu. Semangat ya, semuanya. Kami juga punya urusan lain, jadi ayo selesaikan ini cepat-cepat.”
Ah, tapi ada satu masalah. Aku nggak bisa sampai ke tujuan sendirian.
Aku menatap orang-orang di sekitarku satu per satu, lalu melihat Tino yang berdiri di sebelah Liz dengan canggung.
Aku butuh seorang thief. Dan kalau dia bisa mengemudikan karpet terbang, itu bakal lebih bagus lagi.
◇
Sampai detik terakhir sebelum masuk ke dalam hutan, ekspresi manusia itu tetap santai tanpa sedikit pun tanda-tanda tegang.
Sikapnya jauh dari kesan gagah, malah terkesan sedikit menyedihkan dengan senyum tipisnya. Bahkan di hadapan musuh yang luar biasa kuat, langkahnya tetap ringan, seolah-olah dia hanya sedang jalan-jalan biasa.
Satu-satunya perbedaan dari pertama kali Selene bertemu dengannya adalah dia tidak lagi memakai Perfect Vacation. Mungkin dia sadar kalau menggunakan relik itu di dalam Treasure Vault bisa berbahaya. Tapi justru karena dia bisa tetap setenang ini tanpa relik itu, Selene malah semakin kaget.
Di sisi lain, ekspresi putus asa Tino yang ikut serta dalam misi ini bersamanya membuat keanehan situasi ini semakin jelas.
“Dasar Manusia Lemah itu… Masih aja santai kayak gitu, desu! Dan apa-apaan?! Kenapa harus Tino?! Kenapa tidak milotin sendiri aja itu karpet, desu?!”
“Hmm… sepertinya butuh pengemudi karpet… Oke, Tino, kamu yang terpilih!”
Saat mendengar kata-kata ringan itu, ekspresi Tino terlihat begitu mengenaskan sampai-sampai Selene, yang berasal dari ras lain, merasa iba.
Di kejauhan, Liz dan Sitri sedang mengobrol dengan wajah agak tidak puas.
“…Hei, Sit. Kayaknya belakangan ini Krai-chan keterlaluan deh, dia terlalu sering nyuruh-nyuruh T.”
“Hmm… mungkin ini tahap akhir dari pelatihannya? Yah, bagaimanapun juga, lebih baik Krai-san yang ‘pakai’ T-chan daripada kita──”
“Haaah… Padahal ini sebelum kita masuk ke Treasure Vault level 10. Kenapa dia tidak bisa sedikit lebih serius sih…”
Lucia menekan pelipisnya dan menghela napas dalam-dalam.
Misi ini jelas sangat berbahaya. Dengan informasi yang terbatas, Sitri sudah merancang strategi terbaik yang mungkin, tapi tetap saja masih banyak faktor tak terduga.
Hampir tidak pernah ada contoh sukses dalam menaklukkan Treasure Vault tipe kuil. Belum lagi, strategi yang mereka gunakan dengan menggunakan Mana Material Agitator belum pernah diuji sebelumnya.
Selain itu, mereka harus membagi kekuatan untuk melindungi delapan perangkat yang dipasang. Situasi ini jauh dari ideal.
──Tapi meskipun strategi Selene dan yang lainnya sulit, apa yang akan dilakukan Thousand Tricks jauh lebih gila.
Menurut hasil penyelidikan, bagian utara dan selatan Shrine of Origins punya kondisi medan yang hampir sama, baik dari segi aliran leyline, jumlah musuh, maupun topografi.
Itu artinya, secara teori, manusia itu berniat menghadapi pasukan Phantom seorang diri—jumlah yang setara dengan yang harus dilawan oleh seluruh kelompok Selene.
Tentu, jumlah perangkat yang dipasang berbeda, jadi mungkin jumlah Phantom yang menyerang juga beda. Tapi tetap saja, itu bukan angka yang bisa dianggap remeh.
Selene sempat berpikir kalau manusia itu bakal menjelaskan sesuatu. Entah strategi khusus, senjata rahasia, atau setidaknya ucapan yang bisa membuat orang lain sedikit lebih tenang.
Tapi sampai sekarang, tidak ada.
“…Apa manusia itu benar-benar bisa menghadapi semuanya sendirian?”
“Hmph… Kalau tidak bisa, kita tidak akan setuju dengan rencana Thousand Tricks sejak awal. Lagipula, Selene masih meremehkan dia. Mungkin kepribadiannya menyebalkan, tapi kalau kau tahu pencapaiannya, kekuatannya… kau akan sadar kalau mengkhawatirkannya itu buang-buang waktu.”
Lapis berbicara dengan nada datar, tapi justru karena datar, kata-katanya terasa sangat meyakinkan.
“Justru kita yang harus berusaha sekuat tenaga. Kita ini bukan level 8.”
Di pihak Selene, mereka punya dua Guardian Spirit kelas atas dari Yggdra. Dari segi kekuatan, mereka tidak merasa kalah dibanding para Hunter level tinggi.
Tapi… apakah itu masih belum cukup?
Sementara Selene merenung, Lapis memberikan instruksi, dan para anggota Starlight mulai mengucapkan mantra.
Tanah yang retak akibat kemunculan Yuden mulai bergerak, lalu membentuk sosok humanoid. Rumput dan pepohonan di sekitarnya mencabut akarnya sendiri, lalu mulai berjalan seperti makhluk hidup. Air dari mata air terangkat dan membentuk wujud binatang.
Mereka menciptakan pasukan dari elemen alam.
Lapis mengangkat bahu sambil berkata,
“Kalau lawannya pasukan, kita juga harus melawan dengan pasukan. Memang mereka tidak punya kecerdasan dan kekuatannya terbatas, tapi setidaknya bisa jadi tameng. Biasanya akutidak mau pakai cara ini, tapi sekarang kita butuh jumlah.”
“Itu… ide yang bagus.”
Prajurit yang diciptakan dari elemen alam dasarnya lemah. Kalau lawannya adalah Phantom dari Shrine of Origins, mereka bakal hancur seperti kertas terkena api. Selain itu, proses pembuatannya juga menghabiskan mana, jadi dari segi efisiensi juga tidak terlalu bagus. Tapi kalau hanya untuk mengulur waktu, ini bisa dibilang strategi yang lumayan.
Selene melirik Miles yang melayang di samping. Lalu, meminjam kekuatannya untuk menjalankan sihir.
Selene bisa merasakan jalur kekuatan yang terhubung. Kekuatan luar biasa dari Miles mengalir masuk, lalu dia mengubahnya menjadi fenomena nyata lewat sihir.
Kekuatan Miles benar-benar kebalikan dari Finis.
Kalau Finis adalah “Kehancuran,” maka Miles adalah “Penciptaan.” Kalau Finis mengendalikan “Kekeringan,” maka Miles mengendalikan “Kelimpahan.”
Mungkin dalam pertempuran ia tidak sekuat Finis, tapi kalau soal potensi, kekuatan Miles tidak kalah.
Tanah mulai bergetar, lebih keras dibanding waktu Yuden muncul.
Dari bawah tanah, pasukan prajurit tanah mulai bermunculan, seakan bangkit dari dalam bumi.
“Miles punya kekuatan penciptaan. Dia bisa menumbuhkan tanaman, mengangkat tanah, dan mengendalikan air.”
Jumlahnya tidak main-main, jauh lebih banyak dari yang diciptakan oleh Starlight.
Biarpun lemah, kalau sebanyak ini datang menyerbu, pasti tidak akan bisa diabaikan. Dan dengan kekuatan Miles, selama ada bahan bakunya, Selene bisa terus menciptakan prajurit sebanyak yang dibutuhkan.
“Mungkin tidak bisa sepenuhnya menghentikan mereka, tapi kalau jumlahnya cukup padat, bisa memperlambat pergerakan Phantom dari Shrine of Origins. Kita bahkan bisa membuat kandang bagi mereka.”
“Bisa membentuk dan mengendalikan sesuka hati, ya… Bisa menciptakan sebanyak ini dalam sekejap, memang pantas disebut spirit penjaga Yggdra.”
“Selama Miles fokus bertahan, dia tidak mudah dihancurkan. Memang, dia tidak bisa menahan serangan Finis, tapi dalam skenario ini, kita cukup beruntung karena Finis kembali duluan.”
Kalau Ruine menyerang di tengah-tengah operasi ini, mereka pasti bakal dalam masalah besar.
Masih ada satu spirit penjaga Yggdra lain yang hilang, tapi ia tidak seagresif Finis. Jadi, kalaupun ia berpihak ke musuh, dampaknya tidak akan sebesar Finis.
“Hmph… Jangan lupa. Nyawa kita lebih penting. Aku mengerti kalau kalian mau menyelamatkan rekan kalian, tapi kalau kita tumbang duluan, semua jadi sia-sia.”
“Kalau Phantom itu bisa dilumpuhkan pakai petir seperti makhluk biasa, pasti lebih gampang, desu.”
“…Aku berterima kasih.”
Anggota Starlight adalah para magi kuat, tapi tidak ada yang tahu seberapa efektif mereka bisa menahan Phantom dari Treasure Vault Level 10. Selene tidak minta mereka bertaruh nyawa.
Tugas mereka hanya percaya pada rencana ini dan melakukan yang terbaik.
Dari kejauhan, Ruine—yang membawa Finis bersamanya—menatap lurus ke arah World Tree.
“Begitu serangan di sini beres, aku langsung bergerak ke sana. Akan kupastikan keberadaanku mencolok.”
Sebagai salah satu magi terbaik Yggdra, kekuatan Ruine sekarang benar-benar tajam. Dengan Finis di bawah kendalinya, hampir tidak ada Phantom yang bisa menandinginya.
Kita pasti bisa menang. Tidak peduli seberapa besar pasukan yang musuh kirim… kita harus menang.
Seolah bisa membaca kegelisahan Selene, Sitri bersuara dengan nada meyakinkan.
“Kita pasti menang. Kalau sampai gagal, akan sangat memalukan nanti kalau menghadap Krai-san.”
“Benar juga. Kesempatan untuk lawan Phantom dari Treasure VVault Level 10 itu jarang terjadi, mending kita nikmati saja.”
“…Sejak masuk Grieving Souls, aku terus mengalami kejadian seperti ini. Padahal aku ini thief, lho…”
“Sejak Eliza-san gabung, intensitasnya lumayan berkurang, sih. Yah, mungkin juga karena kakakku lebih jarang ikut operasi.”
“Umu Umu.”
Lucia menghela napas panjang sambil mengangkat bahunya, sementara Ansem mengangguk besar.
Dengan pasukan yang diciptakan dari kekuatan Miles, akhirnya Selene berhasil sampai ke lokasi yang jadi tanggung jawabnya.
Mana Material bisa memperkuat semua makhluk hidup, termasuk tumbuhan. Karena itu, daerah sekitar World Tree—tempat di mana leyline berkumpul—membuat rumput dan pepohonan tumbuh jauh lebih besar dari biasanya.
Tempat ini memang tidak sebesar World Tree, tapi hutan di sekitarnya dipenuhi pepohonan tua yang sudah berdiri ratusan tahun. Sekilas terlihat seperti hutan biasa, tapi kalau melihat ke tanah, bisa kelihatan kalau aliran Mana Material di bawah sini lebih pekat dibanding daerah sekitarnya.
Ini adalah salah satu titik persimpangan di mana leyline dari luar bertemu. Leyline kecil yang membawa Mana Material dari luar berkumpul di sini, lalu membentuk leyline yang lebih besar yang langsung terhubung ke World Tree. Meskipun kekuatan Miles tidak cukup untuk memutus leyline, kalau aliran leyline di sini bisa dihentikan, maka kekuatan yang mengalir ke World Tree bakal berkurang. Dan kalau Mana Material yang mengalir bisa diganggu, maka kekuatan Shrine of Origins juga bakal melemah.
Selene menatap perangkat pengaduk Mana Material buatan Sitri yang dibawa oleh pasukan tanah.
Perangkat itu tingginya sekitar dua meter dan lebarnya satu meter. Terbuat dari kaca, bentuknya aneh, dan memantulkan sinar matahari yang menembus celah pepohonan, membuatnya berkilauan.
Di mata Selene, perangkat itu tetap terlihat mengerikan. Dibandingkan aliran deras Mana Material yang mengalir di dalam tanah, perangkat ini terasa terlalu kecil dan rapuh untuk dipercayakan dengan nasib dunia.
Pasukan tanah mulai memasang perangkat itu dan memperkuat pertahanannya.
Jumlah pasukan yang diciptakan dari kekuatan Miles sudah mencapai ratusan. Bahkan kalau hancur, mereka bisa langsung diperbaiki, dan bentuknya bisa diubah sesuka hati. Memang mereka tidak bisa bergerak secara presisi, tapi setidaknya bisa diperintahkan untuk menyerang musuh.
Sekarang tinggal memasang batu sihir sesuai waktu yang ditentukan, mengaktifkan perangkatnya, dan mempertahankannya sampai efeknya muncul.
Setelah menyelesaikan persiapannya, Selene memeriksa jam yang diberikan oleh Sitri.
Waktu mulai operasi sudah semakin dekat. Rasa tegang mulai membuatnya sulit bernapas.
Sebagai seorang putri Yggdra, Selene hampir tidak punya pengalaman dalam perang besar.
Melalui kekuatan cermin Adler, ia bisa melihat Phantom yang berjajar di dalam penghalang Shrine of Origins.
Kalau perangkat ini diaktifkan, apakah para Phantom itu akan menyerang? Dari sekian banyaknya, berapa yang akan bergerak untuk menghentikannya?
Kekuatan Miles memang luar biasa, tapi lawannya adalah musuh yang bahkan para prajurit Yggdra yang lebih berpengalaman darinya tidak bisa kalahkan—dan tidak ada satu pun yang kembali hidup-hidup.
Apakah dia bisa bertahan? Bisa berjuang tanpa mempermalukan dirinya sebagai seorang putri? Dia sendiri tidak yakin.
Tapi mungkin karena pemikiran seperti itu juga, manusia itu sampai memberinya relik Liburan yang Sempurna—Perfect Vacation.
Selene menguatkan tekadnya, menutup mata, dan mengasah pikirannya. Ia menatap World Tree sambil berdoa agar operasi ini berhasil.
Miles pun, seolah merasakan hal yang sama, diam-diam menatap World Tree—yang kini telah ditelan oleh Shrine of Origins dan berubah menjadi sesuatu yang mengerikan, bukan lagi ‘kampung halaman’ yang mereka kenal.
“Sudah hampir waktunya…”
Untuk saat ini, hutan masih terasa tenang.
Pasukan tanah yang dikendalikan sihir Miles berfungsi sebagai mata, telinga, dan tangannya. Jika ada monster atau Phantom yang mendekat, mereka pasti akan segera tahu.
Jika sejauh ini tidak ada tanda-tanda pergerakan, berarti tim lain juga belum diserang.
Semoga semuanya tetap berjalan lancar.
Dengan tekad bulat, Selene mengambil batu permata merah yang diberikan Sitri dan memasangnya ke perangkat itu.
—KLIK.
Terdengar suara kecil.
Batu permata itu terasa sangat ringan di ujung jarinya. Mana dari batu sihir itu mulai mengalir ke dalam tabung kaca berbentuk spiral, membuat perangkat itu bergetar tanpa suara.
“Kh! I-Ini…?”
Jantungnya berdebar kencang. Suaranya yang keluar tanpa sengaja terdengar gemetar.
Meski perangkatnya sudah aktif, pemandangan di sekitarnya tetap sama. Tidak ada gempa, suara aneh, atau cahaya terang yang muncul.
Mungkin bagi orang yang tidak punya “pengelihatan” seperti Selene, memahami cara kerja perangkat ini akan sulit.
Memang benar, perangkat ini layak disebut sebagai pengaduk.
Perangkat itu menyerap Mana Material dari tanah dan mengaduknya perlahan di dalam tabung kaca berbentuk spiral.
Tapi yang terjadi selanjutnya lebih dari sekadar pengadukan.
Mana Material yang dikeluarkan dari bagian atas perangkat tidak lagi mengalir satu arah seperti di bawah tanah. Sebaliknya, ia tersebar ke segala penjuru dengan deras, seperti mata air yang meluap.
Aliran Mana Material ini menyebar dalam bentuk gelombang ke segala arah. Kalau diperhatikan lebih seksama, pola gelombangnya memanjang ke arah ujung tabung kaca.
Menurut rencana Sitri, setiap perangkat yang aktif akan menciptakan aliran Mana Material baru dengan saling terhubung satu sama lain.
Tapi ini sulit. Selene bisa melihat Mana Material, jadi dia masih bisa memastikan perangkatnya berfungsi. Tapi bagi mereka yang tidak bisa melihatnya, tidak ada cara untuk memastikan apakah perangkat itu bekerja atau tidak.
Seperti dugaan, penggunaan perangkat ini menyimpang dari tujuan aslinya.
Membelokkan aliran leyline untuk melemahkan Treasure Vault butuh perhitungan yang sangat presisi. Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata perangkat ini lebih cocok untuk menyebarkan dan menahan Mana Material di tempat, bukan untuk menghentikannya. Jadi, seharusnya perangkat ini dirancang untuk memperkuat Treasure Vault—tapi ternyata tetap bisa digunakan untuk melemahkannya juga.
Selene tidak tahu pasti bagaimana perangkat ini bekerja, tapi pembuatnya pasti seorang jenius—atau orang gila. Atau mungkin dua-duanya.
Orang-orang Yggdra memang punya teknologi untuk memanfaatkan aliran leyline, tapi tidak ada yang pernah berpikir untuk mencoba mengutak-atik leyline itu sendiri.
Mana Material yang mengalir di dalam tanah terserap ke dalam perangkat, jumlahnya pun berkurang. Jika tim lain berhasil mengaktifkan perangkat mereka dan menghentikan aliran Mana Material dari arah selatan, maka jumlah Mana Material yang mengalir ke Shrine of Origins akan berkurang setengahnya.
Pada titik ini, anomali pasti sudah terdeteksi di dalam Shrine of Origins. Para Phantom akan mulai mencari sumber gangguan ini dan segera menyadari keberadaan mereka.
Sambil terus mengamati perangkat yang bekerja, Selene mencoba merasakan keberadaan Phantom.
Saat itu juga, Miles yang melayang di dekatnya mengeluarkan suara jernih seperti lonceng, menyampaikan informasi.
“…Ada tujuh ekor, semuanya tipe binatang—mungkin pasukan pendahulu.”
Lima di antaranya berbentuk serigala, dua lainnya mirip kadal seperti yang pernah dilawan Eliza dan yang lain sebelumnya.
Mereka tidak mengeluarkan suara langkah kaki, tapi tidak bisa lolos dari penglihatan Miles. Angin, tanah, pohon, semuanya adalah bagian dari dirinya.
Saat ini, Selene dan Miles terhubung oleh kekuatan yang tak kasat mata. Panca indera yang diperluasnya memberitahu bahwa para Phantom itu sedang mendekat.
Tanpa suara, tanpa tanda-tanda kehadiran, tapi dengan kecepatan tinggi.
Kalau ini adalah serangan mendadak, mungkin mereka sudah kalah dalam satu serangan sebelum sempat bereaksi.
Tak peduli seberapa kuat seorang magi, kalau diserang sebelum sempat menggunakan sihir, tidak ada yang bisa dilakukan.
Tapi Selene tidak lengah.
Meskipun dia tidak punya banyak pengalaman bertarung, itu tidak penting.
Karena hutan adalah sekutu Selene Yggdra Frestel.
Dia menggenggam tongkat kesayangannya erat-erat dan berbisik,
“…Miles.”
Tak perlu ada perintah. Miles sudah mengerti keinginannya dengan sempurna.
Tanah di bawah kakinya naik membentuk pilar besar, membawa Selene jauh ke atas, lebih tinggi dari pepohonan di hutan. Pasukan tanah yang dibuat oleh Miles serentak menghadap ke arah datangnya Phantom.
Selen melihat ke bawah. Mana Material yang menyebar dari perangkat terus meluas. Karena ketinggiannya, dia tidak bisa melihat Phantom yang bersembunyi di balik dedaunan.
Tapi justru karena itu, dari kejauhan dia pasti terlihat jelas.
Jumlah Phantom tidak tak terbatas. Semakin banyak yang ia tarik ke arahnya, semakin mudah tugas tim lain.
Miles melaporkan sesuatu lagi, membuatnya mengerutkan kening.
“Tambahan lima belas ekor. Semuanya tipe binatang. Sepertinya mereka meremehkan kita.”
Beruntung yang datang itu tipe binatang. Tidak ada seorang pun prajurit Yggdra yang berbentuk binatang.
Tidak perlu menangkap mereka. Cukup dihancurkan semuanya sekaligus.
Gerakan mereka mulai melambat. Makhluk-makhluk itu jelas punya kecerdasan tinggi. Mereka berusaha mengepung dan menyerang dari semua sisi.
Tapi tidak ada alasan untuk menunggu mereka bergerak lebih dulu.
Selene menghentakkan tongkatnya ke tanah dan berteriak, mengusir keraguan dari dalam dirinya.
“Serang!!”
Tanah bergetar hebat.
Ratusan prajurit tanah yang sudah bersiap langsung menerjang ke arah Phantom secara bersamaan.
Para Phantom merespons serangan balik yang tiba-tiba tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Mereka berhenti menyembunyikan keberadaan mereka, menghancurkan prajurit tanah yang menempel pada mereka dengan sekali kibasan tubuh, lalu melompat maju. Kulit mereka yang keras hampir tidak terpengaruh oleh serangan prajurit tanah, dan setiap serangan balik mereka dengan mudah menghancurkan prajurit itu berkeping-keping.
Semuanya sesuai dugaan. Prajurit tanah ini, kalau satu lawan satu, memang tidak punya kekuatan besar.
Atau, lebih tepatnya, mereka bahkan bukan benar-benar “prajurit”.
Mereka punya tangan, kaki, dan kepala, tapi tidak punya titik lemah. Yang mengendalikannya adalah Miles. Bagi Miles, yang mengendalikan tanah, para “prajurit” ini hanyalah gumpalan tanah humanoid, dan serangan mereka hanyalah gelombang tanah yang menghantam musuh.
Prajurit tanah baru mulai terbentuk lagi. Miles mempercepat prosesnya. Tanah dari prajurit yang hancur dipakai ulang untuk menciptakan yang baru. Tanah di bawah kaki para Phantom diubah menjadi lumpur, menghambat gerakan mereka. Daripada menyingkirkan mereka dengan serangan langsung, lebih cepat jika mengubur mereka hidup-hidup.
Para Phantom mulai menggeliat dan meronta. Mereka baru sadar bahaya yang mengancam mereka—tapi sudah terlambat.
“──Kembalilah ke tanah.”
Trek! Sebuah suara mengerikan terdengar, membuat telinga terasa tidak nyaman. Beberapa Phantom langsung lenyap dari keberadaannya. Miles mengendalikan tanah yang menutup mereka, lalu menekannya hingga hancur. Tubuh mereka memang keras dan daya tahannya tinggi, tapi kalau terus ditekan sampai remuk, mereka tetap akan mati.
Beberapa Phantom berbentuk kadal berhasil lolos dari jebakan tanah dan melompat ke arah Selene.
Tanah sudah berubah jadi lumpur, tapi mereka masih bisa melompat sejauh itu? Selene hampir kagum—sampai dia melihat mereka membuka mulut lebar-lebar dalam waktu bersamaan.
“Ngh!?”
Cahaya berkumpul di dalam mulut mereka dan langsung ditembakkan ke arahnya.
Tapi serangan itu tidak pernah sampai ke Selene.
Sebuah dinding tanah tebal muncul dari bawah tanah, menahan serangan itu. Permukaannya memerah karena panas, dan suhu di sekitarnya langsung meningkat. Tapi serangan itu tidak berhasil menembus dindingnya. Sebaliknya, Selene malah meruntuhkan dinding itu ke arah Phantom, menghancurkan mereka di bawah bebannya.
Gerakan mereka semakin melemah—dan akhirnya, sepenuhnya menghilang.
Keheningan kembali menyelimuti tempat itu. Pertarungan pertama ini hanya berlangsung sekitar lima menit.
Selene bertumpu pada tongkatnya, mengatur napas yang berantakan. Dia menghapus keringat yang tanpa sadar sudah mengalir di dahinya.
Tidak masalah. Dia baik-baik saja. Tapi tidak ada rasa kemenangan.
Jika Phantom itu masih bisa melawan Miles meski hanya sebentar, berarti mereka adalah musuh yang kuat. Anggota tim lain mungkin lebih berpengalaman dalam pertempuran dibanding Selene, tapi kalau jumlahnya sebanyak tadi, mereka tidak akan bisa bertahan lama. Dan tidak ada yang tahu kapan gelombang ketiga akan datang.
Selene mengalihkan perhatian ke arah perangkat yang digunakan.
Saat dia melihat kondisi aliran leyline, sejenak dia kehilangan kata-kata.
“…M-Mana Material yang menyebar… kembali lagi ke tempat asalnya?”
Perangkatnya masih berfungsi dengan baik.
Tapi arus Mana Material yang seharusnya menyebar luas dan mengubah alirannya, justru tertarik kembali ke aliran utama tanah. Jika dilihat dari atas, bentuknya seperti anak sungai yang bercabang tapi akhirnya bergabung lagi ke sungai utama──Dengan kata lain, jumlah energi yang mengalir ke Treasure Vault tidak berkurang sama sekali.
Apakah ini ulah Phantom tadi? Tidak… sepertinya bukan.
Selene buru-buru melihat ke arah tim lain yang juga mengaktifkan perangkatnya. Hasilnya sama saja.
Perangkatnya memang berhasil menyerap dan menyebarkan Mana Material. Tapi mereka belum berhasil menciptakan arus baru.
──Penyebarannya masih kurang.
Agar Mana Material bisa membentuk aliran baru dan lepas dari arus utama leyline, semua perangkat harus terhubung satu sama lain melalui arus yang telah mereka kacaukan.
Mana Material selalu tertarik ke tempat dengan energi lebih kuat.
Itulah alasan mengapa makhluk hidup bisa menyerap Mana Material. Itulah alasan mengapa Mana Material yang baru saja mereka sebarkan malah kembali ke leyline utama. Dan itulah alasan mengapa rencana Sitri mengharuskan semua perangkat diaktifkan secara bersamaan.
“Ada kesalahan perhitungan… ukuran perangkatnya kurang besar…? Tidak, sejak awal rencana ini memang punya banyak variabel yang belum pasti.”
Rencana ini gagal. Mau sekuat apa pun pertahanan kita, semuanya jadi sia-sia.
Bahkan, Selene bisa melihat kalau Mana Material dari Phantom yang baru saja dikalahkan juga terserap ke dalam jalur leyline. Jumlahnya memang tidak seberapa, tapi kalau dibiarkan, cepat atau lambat itu bisa mengalir ke Shrine of Origins.
Aku sudah siap mental kalau ada kemungkinan gagal. Tapi ini benar-benar skenario terburuk.
Selene harus segera memberitahu yang lain, kalau tidak, mereka bakal terus bertarung sia-sia.
Miles memberitahu kalau ada lagi segerombolan Phantom yang mendekat dari kejauhan. Tapi Selene tidak punya waktu untuk melawan mereka sekarang.
Selene mengembalikan tanah yang tadi terangkat, lalu menarik napas dalam-dalam supaya bisa tetap tenang.
Strateginya tidak salah. Aku yakin kalau kita bisa pasang perangkat yang lebih kuat, ini pasti bakal berhasil.
Tapi tiba-tiba terdengar suara retakan kecil.
Ditengah pikirannya yang hampir meledak karena tekanan, Selene memaksakan diri untuk melihat ke arah sumber suara.
Kaca perangkat pengaduk Mana Material. Ada retakan kecil yang terus menyebar semakin luas, lalu—
“!? Bagaimana bisa!?”
Perangkat itu pecah berkeping-keping, dan batu sihir yang jadi sumber tenaganya jatuh menggelinding ke tanah.
Selene pikir situasinya sudah yang paling buruk, ternyata masih bisa lebih buruk lagi. Dan yang paling parah, dia sama sekali tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi.
Selene membeku, tidak bisa berpikir. Lalu, dari kejauhan, dia melihat cahaya merah ditembakkan ke langit.
Sinyal untuk mundur dan bawa kembali perangkat. Selene memaksa tubuhku yang gemetar untuk bergerak dan mulai proses mundur.
Dia tiba di markas operasi kali ini, tempat Sitri mengaktifkan perangkat.
Saat Selene sampai, hampir semua tim sudah berkumpul. Di saat yang bersamaan, Ruine, yang menjaga perangkat di sisi berlawanan, juga tiba.
Tempat itu penuh dengan bekas pertempuran. Memang tidak separah tempat Selene tadi, tapi tetap saja kelihatan kalau cukup banyak Phantom yang menyerang. Familiar Sitri yang pakai kantong kertas di kepalanya sedang mengangkut mayat-mayat Phantom.
Tapi masalahnya belum selesai. Beberapa Phantom berbentuk binatang mulai mendekat.
Jumlah mereka masih sedikit, mungkin masih dalam tahap mengamati. Tapi itu cuma masalah waktu sebelum mereka menyerang habis-habisan.
Memang ada penghalang yang dipasang oleh Ansem, tapi tidak akan bertahan lama.
Sitri tampak kesal. Begitu Selene melihat wajahnya, dia langsung berteriak tanpa bisa menahan diri.
“Apa yang terjadi!? Perangkatnya hancur berkeping-keping!!”
Selene tahu harusnya tetap tenang. Tapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bicara.
Itu karena, misi ini menentukan nasib dunia.
Sitri menghela napas, lalu mengangkat alat pengukur yang punya jarum dan skala di atasnya.
“Percobaan ini gagal total. Penyebabnya simpel: jumlah Mana Material di leyline jauh lebih banyak dari yang kita perkirakan. Perangkatnya bekerja dengan normal, tapi gagal menciptakan aliran baru.”
Di tengah situasi genting ini, dengan tekanan dari kehadiran Phantom yang mendekat dari segala arah, Sitri tetap menjelaskan dengan nada tenang.
“Ini alat pengukur Mana Material yang kita buat bersamaan dengan perangkat tadi. Lihat, jarumnya mentok ke kanan, kan? Artinya, jumlah Mana Material di leyline ini sudah melebihi batas yang kita perkirakan. Singkatnya, perangkat pengaduk Mana Material kita tidak cukup kuat untuk menahan jumlah sebesar ini. Bisa dibilang, kita salah perhitungan. Tapi, mengingat banyaknya faktor yang masih belum kita pahami soal leyline, ya… mau gimana lagi.”
Perangkat yang dipasang Sitri masih utuh. Sepertinya jumlah Mana Material yang mengalir di titik ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang dijaga Selene.
Awalnya, perangkat Selene juga berfungsi tanpa masalah. Mungkin perangkat itu memang berada di ambang batas kemampuannya. Perangkat itu rusak tepat setelah Selene mengalahkan Phantom, jadi mungkin energi yang dilepaskan saat Phantom mati membuatnya melewati batas.
Tapi bagaimanapun juga, keadaan sekarang ini sudah tidak bisa ditangani lagi.
“Ta-Tapi, ini masih bisa diperbaiki, kan!? Bukannya kamu bilang kalau perangkat ini bisa disesuaikan—”
Selene ingat betul kalau Sitri pernah mengatakan bahwa parameter pada lingkaran sihirnya bisa diubah untuk menyesuaikan ukuran dan kinerja perangkat.
Namun, jawaban yang dia dapatkan justru lebih kejam dari yang dia duga.
“Tidak bisa. Dari awal, aku sudah menggunakan hampir semua kaca yang tersedia untuk membuat perangkat terkuat yang mungkin. Kalau aku menghemat bahan dan malah gagal, itu bakal lebih parah lagi… Selain itu, Lucia-chan juga pasti sudah menghabiskan banyak mana untuk menciptakan perangkat ini.”
“…Pantas saja… meskipun katanya setiap magi bisa membuatnya, aku merasa konsumsi energinya terlalu besar.”
Lucia tampak masam. Kenapa dia masih bisa begitu tenang dalam situasi seperti ini?
Lapis, yang jelas kesal, menatap Sitri dan bertanya dengan nada tajam.
“Hmph… Jadi begitu, ya… Aku tetap tanya, bisa dimodifikasi tidak perangkatnya?”
“Untuk sekarang, susah. Kami harus mengulang riset dari awal. Apalagi, teman-teman yang meneliti ini bersamaku sudah dipenjara—eh, lupakan. Intinya, meskipun kelihatannya sederhana, perangkat ini dibuat setelah riset panjang oleh para praktisi terbaik yang bisa kami kumpulkan…”
Selene tahu betapa sulitnya meneliti Mana Material. Bahkan Yggdra butuh waktu bertahun-tahun untuk menciptakan sihir pertahanan. Dia ingin menangis, tapi sekarang bukan saatnya.
Yang harus mereka lakukan sekarang adalah mundur.
Entah mereka tetap pada rencana ini atau mengubahnya, bertahan di sini tidak akan ada gunanya.
Sementara jumlah Phantom yang mendekat semakin banyak, prajurit tanah yang mereka gunakan untuk menahan musuh nyaris tak ada gunanya.
Miles memang kuat, tapi dia bukan tak terkalahkan. Dia tetap bisa lelah, dan saat menyerang, pertahanannya melemah. Tadi ia bisa menang, tapi kalau dikepung oleh seratus atau dua ratus Phantom, dia pasti akan dihancurkan.
Magus itu lemah. Terus bertarung melawan kelompok Phantom yang bisa membunuh mereka dalam satu serangan bukanlah pilihan cerdas.
“Kita mundur. Kita pikirkan langkah selanjutnya di Yggdra.”
Tak semuanya bisa berjalan mulus… Atau mungkin selama ini mereka hanya terlalu beruntung.
Masih ada seratus tahun sebelum Dewa itu terbangun. Dalam waktu sebanyak itu, mereka pasti bisa menyempurnakan perangkat ini.
Untuk sekarang, kembali ke Yggdra dan fokus pada pertahanan adalah pilihan terbaik.
Satu-satunya kekhawatiran Selene adalah apakah kegagalan ini malah akan memancing masalah yang lebih besar.
“…Kudengar tingkat keberhasilan kalian seratus persen. Jadi bahkan Thousand Tricks juga bisa gagal?”
Dia terlalu percaya diri setelah melihat bagaimana mereka berhasil menyelamatkan Miles dan membawa kembali Ruine.
Tapi Thousand Tricks juga manusia. Seharusnya dia menyadari kalau kemungkinan gagal selalu ada.
Namun, tetap saja… Sikap santai yang selalu diperlihatkan pria itu terkadang membuat Selene kesal. Apakah ekspresi tanpa beban itu akan berubah kalau dia tahu situasi ini?
Saat Sitri berkedip dan bertukar pandang dengan anggota Grieving Souls, dia tampak kebingungan sebelum akhirnya berkata,
“…Tidak, yang seratus persen tidak pernah gagal adalah Krai-san. Yang gagal sekarang itu aku, bukan dia.”
“…Eh?”
Selene melihat sekeliling, tapi Thousand Tricks masih belum kembali.
Selain itu, Night Parade juga tidak terlihat di mana pun—
Saat itu, tiba-tiba ada seseorang yang jatuh dari pohon besar di dekat situ.
Eliza Peck mendarat dengan ringan di tanah, lalu menatap Sitri dan berkata,
“Sitri, para Phantom──sepertinya mereka kabur. Atau lebih tepatnya… mereka sepertinya menemukan target baru──”
◇
Aku melesat melewati hutan, menembus angin dengan lincah. Dalam waktu singkat, skill Tino dalam mengendalikan Kar-kun sudah naik level lagi. Dia bermanuver dengan cepat di antara pepohonan, melesat di celah sempit tanpa masalah. Bahkan kalau ada ranting yang menghalangi jalan, dia menyibakkannya sebelum sempat mengenainya—aku nggak kena sepotong pun.
Meskipun membawa Mimic-kun, aku, dan Tino, kecepatan Kar-kun tetap tinggi. Kalau aku yang mengendalikan sendiri, pasti sudah nabrak pohon sejak tadi.
Wajah Tino yang mengendalikan Kar-kun terlihat serius.
Yah, nggak heran sih. Dia baru aja kena sial gara-gara insiden benda terkutuk kemarin. Tapi dibanding harus latihan keras bareng Liz, lari-larian bareng aku ini masih lebih baik, kan?
“T-Tekanannya… luar biasa! Kita sudah muter jauh, tapi…! Master, aku bisa merasakan tatapan itu… Jadi ini yang namanya Treasure Vault Level 10, ya!?”
“…Iya iya, betul banget.”
Suara Tino bergetar, penuh rasa gentar, tapi tubuhnya sudah nggak gemetar lagi.
Dia pasti sudah siap secara mental. Dalam situasi putus asa seperti ini, Hunter sejati bakal menunjukkan kemampuannya.
Sementara itu, aku? Sama sekali nggak merasakan ada yang memperhatikan kami… Tapi ya sudahlah.
Tino terus mengendalikan karpet, sesekali berbelok untuk menyesuaikan arah. Sulit dipercaya kalau cewek di depanku ini, beberapa tahun lalu, nggak ada hubungannya sama pertarungan. Sekarang dia bahkan mulai menyaingi satu-satunya keahlianku—menggunakan relik.
Aku bersyukur ngajak Tino ikut. Di hutan ini, dengan pemandangan yang semuanya mirip, aku pasti sudah kehilangan arah sejak tadi.
“Master… kalau kita sudah sampai… aku harus ngapain? Jujur aja… aku akan bertarung dengan sekuat tenaga, tapi kalau lawannya Phantom dari Shrines of Origins, aku mungkin masih kurang kuat.”
“Ya ya, benar juga. Tapi tenang aja, tujuan kita kali ini cuma ngulur waktu. Soal bertarung, aku sudah punya rencana. Kalau perlu, Tino bisa sembunyi di dalam Mimic-kun aja.”
Aku juga kemungkinan besar bakal ikut sembunyi, sih. Tapi tetap aja, berani-beraninya dia bilang mau bertarung mati-matian lawan Phantom dari Treasure Vault Level 10… Tino udah ketularan nekat sekarang.
Tino menarik napas panjang beberapa kali, lalu menoleh ke arahku dengan wajah penuh tekad.
“Tidak… aku sudah Master pilih. Kali ini aku bakal membuktikan kalau aku bisa diandalkan! Kalau aku terus-terusan sembunyi, aku tidak akan jadi Hunter yang hebat!!”
“…W-Wah, bagus sekali! Tino, kamu hebat deh.”
Dia kelihatan penuh semangat.
Tapi aku merasa bersalah… Jadi kalau aku sembunyi terus, aku juga nggak bakal jadi Hunter hebat, ya?
Tino selalu memenuhi harapanku. Bahkan sekarang pun, kemampuan mengemudinya di atas ekspektasi.
Jujur aja, aku serahin semuanya ke dia—dari navigasi sampai kendali kendaraan.
“Tidak, aku belum sehebat itu, Master… Umm, dari sini kita sudah masuk ke area utara. Mau turun di mana?”
Tino bertanya dengan pipi agak memerah.
Jadi kita sudah sampai utara, ya? Aku sama sekali nggak sadar… Huh, hutan kan selalu begini-begini bentuknya—
Kami tiba di area yang sedikit terbuka. Ada cukup ruang buat pasang perangkat di sini, jadi sepertinya tempat ini bisa dipakai.
Sitri sudah bilang aku boleh bebas mengatur strategi. Fokus utama tetap di kelompok Sitri, jadi kalau aku bisa menarik perhatian Phantom dan mengurangi beban mereka, itu sudah sukses besar buatku.
“Kalau gitu, turunin aku di sini aja.”
“!? Ehh? D-Di sini?”
Tino langsung melotot dengan wajah kaget pas lihat ke arahku, tapi tetap nurut dan menurunkan karpet sesuai instruksiku.
Mulai sekarang, ini bakal jadi perlombaan melawan waktu.
“Aku bakal siap-siap, jadi Tino, tolong awasi Shrine of Origins!”
“A-A-Awasi sih awasi, tapi Shrine of Origins itu kan tepat di—T-Tidak, tidak ada apa-apa. Baik, aku mengerti.”
“Kalau ada Phantom yang mendekat, tahan aja mereka sebisa mungkin. Atau kalau bisa, habisin sekalian.”
“Fueh!?”
Tino langsung ngeluarin suara aneh. Sementara dia masih bengong, aku buru-buru mendekati Mimic-kun dan minta dia ngeluarin perangkat yang kubutuhkan.
Mimic-kun langsung memuntahkan sesuatu yang ukurannya segede gaban—sebuah perangkat pengaduk Mana Material.
Semakin lama aku lihat, perangkat ini makin terlihat aneh. Strukturnya sih kelihatan simpel, tapi gimana bisa benda kayak gini ngontrol Mana Material yang bahkan gak keliatan? Dunia ini emang penuh misteri.
Tapi ya sudahlah, aku nggak perlu paham cara kerjanya. Yang penting aku tahu gimana cara makenya.
Sitri sih bilang aku boleh bebas bertindak, tapi aku tetap menyesuaikan waktu aktivasinya sama rencananya. Setelah cek jam, ternyata masih ada sedikit waktu tersisa. Nah, ini kesempatan buat ngeluarin kartu as-ku.
Dari tadi, Tino curi-curi pandang ke arahku. Kayaknya dia penasaran aku mau ngapain.
Aku pun ngasih perintah ke Mimic-kun dengan suara khas detektif film noir.
“Mimic-kun, keluarin benda terkutuk yang aku masukin kemarin.”
“!? Benda terkutuk!?”
Tino langsung bereaksi heboh. Aku cukup puas melihat ekspresinya yang kaget begitu.
Soalnya, dari semua relik yang kumiliki, nggak ada satu pun yang cukup kuat buat ngelawan Phantom dari Treasure Vault Level 10.
Tapi kalau bukan relik──ada satu.
Salah satu penyebab kekacauan di ibu kota kemarin. Sebuah kutukan terburuk yang diciptakan manusia. Sesuatu yang bisa bertarung seimbang melawan Ark dan beberapa Hunter super kuat lainnya.
Dan entah gimana, setelah semua itu berakhir, benda ini malah jatuh ke tanganku.
Mimic-kun menuruti permintaanku dan mulai memuntahkan benda itu. Sebuah liontin berbentuk salib, boneka beruang, pedang bersarung hitam pekat, dan tongkat panjang yang bengkok.
Sebenarnya aku cuma butuh bonekanya, tapi kayaknya aku salah cara ngeluarinnya.
Aku langsung taruh pedang dan tongkat itu sembarangan, lalu mengambil boneka beruang yang kuincar—Marin’s Lament, dan menggantungkan liontin di lehernya.
Begitu melihat benda yang aku keluarkan, Tino terdiam dengan wajah syok.
“Jangan-jangan itu… tapi… bentuknya kok beda dari yang aku tahu?”
“Iya, soalnya aku perbaiki.”
Waktu pertama kali aku nemuin Marin’s Lament, bonekanya udah tua dan bener-bener compang-camping. Warnanya keabu-abuan, penuh lubang di sana-sini, dan satu mata serta tangannya hampir copot. Kayaknya dia bukan rusak karena pertarungan, tapi memang udah lama terlantar begitu.
Aku emang sempat kena sial gara-gara Marin, tapi aku gak tega ngebiarin boneka—eh, kutukan ini dalam keadaan kayak sampah begitu.
Jadi aku pakai potion pembersih spesial buat Hunter, menjahit bagian yang sobek, ganti isinya, bahkan ngasih dia pakaian baru.
Dan, jeng jeng! Sekarang kelihatan kayak boneka baru! (Atau lebih tepatnya, udah jadi sesuatu yang berbeda sih…)
“!? Diperbaiki!? Kamu beneran PERBAIKI benda terkutuk!? Tapi bukannya Marin’s Lament itu sudah hancur kena serangan Shelo!?”
“Kamu kira gitu, kan? Tapi dia cuma diem aja, bukan berarti beneran lenyap.”
Aku pertama kali bisa kontak dengannya setelah selesai memperbaiki boneka itu. Dia muncul dalam mimpiku.
Mimpinya sendiri aku udah lupa, tapi mungkin dia cuma mau bilang terima kasih karena udah diperbaiki.
Sepertinya kebenciannya terhadap manusia udah agak reda, tapi bukan berarti hilang sepenuhnya.
Ya, itu juga berarti dia masih berbahaya. Tapi waktu kejadian di ibu kota kemarin, dia malah ngelindungin aku dari serangan Shelo di akhir. Jadi seenggaknya, aku nggak seburuk itu di matanya.
Aku taruh boneka beruang yang udah direparasi sampai kelihatan kayak baru di tanah. Orang yang nggak tahu pasti bakal mikir ini cuma boneka lucu biasa, bukan benda terkutuk yang bahkan Gereja Cahaya gak bisa urus.
Aku nunggu sebentar, tapi boneka itu nggak bereaksi sama sekali. Padahal, liontin yang kupasang di lehernya harusnya berisi Ksatria Hitam juga, tapi dia juga gak keliatan keluar.
Kemarin waktu aku sampai sujud minta dia buat bertarung, dia udah ngangguk setuju, tapi jangan-jangan dia batalin pas hari-H?
Kalau gitu ya udah, aku tinggal naik ke punggung Kar-kun terus kabur.
…Tapi tetep aja nggak ada reaksi. Oh, benar! Saatnya pakai trik pamungkas: sesajen.
Kalau aku nunjukin rasa hormat, Marin pasti mau muncul. Aku langsung ngubek-ngubek tas tempat penyimpanan relik—beda dari Mimic-kun, tas ini tuh barang cacat yang cuma bisa nyimpen coklat batangan.
Aku ambil satu coklat batangan yang selalu aku bawa, terus kutaruh di atas kepala boneka. Lalu aku tumpuk lagi, dua, tiga, sampai lima batang—
Dan tiba-tiba, bonekanya langsung disambar dari samping.
Entah muncul dari mana, seorang anak perempuan langsung memeluk boneka beruang itu erat-erat. Di sebelahnya, seorang ksatria hitam pekat berdiri kaku seperti patung.
Marin’s Lament.
Gadis yang berubah jadi kutukan karena tragedi yang menimpanya. Tapi kali ini dia kelihatan jauh lebih tenang dibanding waktu pertama kali aku lihat. Gaunnya yang seperti habis terbakar masih sama, tapi wajah dan anggota tubuhnya yang dulu kayak mayat membusuk sekarang udah kembali seperti saat dia masih manusia.
Ekspresinya juga bukan cuma penuh kebencian kayak dulu.
Meski begitu, dia tetep ngeliatin aku dengan tatapan sebal.
Ya, wajar sih. Dia setuju buat bantu, tapi bukan berarti dia ikhlas melakukannya. Tapi setidaknya, aku nggak melihat ada niat buat membunuhku di matanya.
Aku menangkupkan tangan, lalu memungut coklat batangan yang jatuh ke tanah dan menyorongkannya ke Marin sambil berkata—
“Tolonglah. Aku bakal nge-upgrade bonekanya buat kamu.”
“……Ja—Jangan…”
“M—Master! Jangan bilang… kamu mau melepas Marin’s Lament ke mereka!? Terus juga… dia bisa ngomong!?”
Tino langsung teriak kaget.
Padahal ini ide yang bagus, kan? Kalau nggak punya kekuatan, ya tinggal pakai cara bertarung ala orang lemah.
Lagian, Shelo aja bisa ngomong, jadi nggak ada yang aneh kalau Marin juga bisa.
“Melepasnya itu kesannya jelek amat… Aku cuma minta dia buat bantu sedikit.”
Aku sebenarnya nggak tega buat nyuruh anak kecil bertarung, tapi aku udah tahu betapa mengerikannya kekuatan Marin. Dia memang kalah dari Shelo, tapi kalau cuma Phantom dari Shrine of Origins, harusnya dia bisa ngeladenin.
Selain itu, Marin nggak punya wujud fisik, jadi meskipun diserang, dia kagak bakal mati. Ditambah lagi, dia punya kutukan Ksatria Hitam.
Dan, baru aja aku kepikiran sesuatu… Kutukan juga punya keunggulannya sendiri.
Aku menunjuk ke pedang dan tongkat sihir yang tergeletak di tanah—senjata terkutuk yang bikin Akademi Sihir dan Dojo Sworld Saint jadi kacau balau.
“Ayo, ambil pedang dan tongkat itu.”
“……”
──Benar. Dia bisa pakai senjata terkutuk tanpa efek samping.
Biasanya, senjata terkutuk punya kekuatan yang gila, tapi dengan harga yang nggak bisa diabaikan. Aku nggak tahu efek tongkat itu, tapi pedangnya jelas udah pernah bikin Dojo Sword Saint hancur berantakan. Kalau Marin yang udah OP itu makin dipersenjatai, dia bakal jadi monster beneran.
Tanpa senjata aja, Marin dan Ksatria Hitam udah bisa bertarung setara sama para hunter veteran, termasuk Ark, dan juga Gereja Cahaya. Kalau mereka bersenjata, Phantom sebanyak apa pun nggak bakal jadi ancaman.
Marin dan Ksatria Hitam dengan gerakan lambat mengambil senjata mereka.
Tino tiba-tiba menoleh ke dalam hutan dengan wajah tegang.
“M—Master! Aku merasakan sesuatu… Phantom semakin mendekat!!”
“Oh, makasih. Udah jamnya, ya…?”
…Padahal perangkatnya belum dinyalain, tapi mereka udah nyerang? Aku sih nggak merasakan apa-apa, tapi…
Aku lihat jam. Tanpa sadar, waktu udah kelewat dari jadwal.
Gara-gara Marin lama banget muncul, kayaknya Sitri dan yang lain udah mulai duluan. Yah, sekalian aja kita juga nyalain perangkatnya…
Aku ambil batu sihir yang dikasih Sitri, lalu memasukkannya ke lubang di perangkat itu.
Tabung kaca bergetar tanpa suara. Kirain bakal ada efek suara atau cahaya dramatis, tapi ternyata reaksinya sepi-sepi aja. Ini beneran nyala kagak sih?
Tino membuka matanya lebar-lebar, suaranya gemetar.
“Suara ini… aura ini… Mereka meredam suara langkah kaki, tapi aku bisa merasakannya… I—ini jumlahnya luar biasa banyak!!”
Aku mencoba pasang kuping, tapi selain suara angin, nggak ada yang bisa kudengar.
Meski dia seorang thief, insting Tino udah di level monster. Mungkin karena dia sering kena bahaya, inderanya makin tajam berkat kekuatan Mana Material.
“Hmm, kira-kira berapa jumlahnya?”
“…Buanyak banget. Sampai tidak bisa dihitung. Mungkin karena kita lebih dekat ke Shrine of Origins dibanding kak Sitri dan yang lain…”
Oalah… jadi kita beneran bakal jadi umpan, ya? Kayaknya sih musuh nggak bakal nyangka kalau target utamanya tuh Sitri.
Oh, jadi tempat ini lebih deket ke Shrine of Origins Hmm, baru tau…
Aku menarik Mimic-kun mendekat supaya gampang kabur kapan aja. Juga ngecek Safe Ring yang kupakai di jariku.
Aku nggak terlalu ngerti seberapa kuatnya Phantom dari Shrine of Origins ini. Dulu aku pernah lihat mereka bentrok sama pasukannya Adler dari jarak dekat, tapi waktu itu aku cuma bisa melongo doang. Lagian, buat benar-benar ngerti seberapa kuat musuh, yang ngelihat juga harus punya kekuatan tertentu.
Bukan berarti ngerti itu bakal bikin aku bisa lawan mereka sih… Tapi ya, aku punya Safe Ring, jadi setidaknya masih bisa nahan beberapa serangan.
“Tino, ke sini.”
“!? O-oke…”
Sambil terus waspada ke arah hutan, Tino berlari kecil mendekat.
Dari pengalaman sih, kalau aku berdiri sejajar sama orang lain, musuh biasanya bakal nyerang aku duluan. Kalau mereka pakai serangan area sekalipun, Safe Ring bisa ngelindungin kita berdua. Begitu kita tahu cara mereka nyerang, Tino pasti bisa nanggepinnya.
Dari samping, ekspresi Tino keliatan tegang tapi sama sekali nggak gentar. Padahal dia sendiri yang bilang kalau jumlah musuhnya banyak banget. Tapi tetap aja dia keliatan keren dan bisa diandalkan.
Aku mundur selangkah. Ksatria hitam langsung maju tanpa ekspresi. Di sebelahnya, Marin juga ikut berdiri sambil menggenggam tongkat dan memandangi hutan dengan tatapan suram.
…Hmm? Btw, Marin ini magi ya?
“Kuh… M-Mereka datang…!”
Tino bicara dengan suara tertahan. Setetes keringat turun di pipinya yang pucat.
Dan saat itu juga, aku baru sadar kalau kita udah dikepung.
Walaupun kita mendarat di tempat yang agak terbuka, hutan di sekitar sini masih lebat banget. Beberapa meter di depan, di atas pohon-pohon tinggi dan di balik batang-batang besar, aku bisa melihat siluet humanoid yang mengenakan topeng hitam… jelas para Phantom.
Paling nggak ada lebih dari sepuluh. Sejak kapan mereka sedekat ini?
Tapi mereka nggak beneran sembunyi. Kalau mereka serius mau menyamarkan keberadaan, aku yakin aku nggak bakal sadar sampai mereka udah tepat di depan mata. Itu berarti mereka udah siap tempur.
“Hah… hah… Master… mereka tipe Magi dan Thief. Semua udah terbiasa bertarung di dalam hutan!!”
Terdengar suara daun bergesekan. Siluet hitam bergerak di atas pepohonan. Mereka benar-benar cepat. Tapi yang paling bikin ngeri adalah… mereka masih belum menyerang.
Mereka punya kecerdasan tinggi dan disiplin. Mungkin mereka nunggu momen yang tepat buat menyerang dengan pasti.
Udara di sekitar berubah menekan. Tino sampai ngos-ngosan padahal dia belum banyak gerak.
“…Tadi Selene bilang jangan membunuh mereka, ya…?”
“Hik—!”
Tino menarik napas dalam, lalu langsung ambil posisi bertarung. Tanpa senjata, hanya dengan tangan kosong.
Kalau kupikir-pikir lagi, Tino ini kayaknya hampir nggak pernah bawa senjata, ya? Bahkan Luke aja pakai pedang kayu, dan Liz juga pakai senjata kalau dibutuhin. Jangan-jangan Tino ini yang paling barbar di antara kita…? Eh, bukan waktunya mikirin itu! Aku nggak bakal nyuruh dia bertarung.
Ksatria hitam mencabut pedangnya dan langsung melesat maju, jarak beberapa meter terpangkas dalam sekejap. Tapi… dia gagal.
Dari segala arah—atas pohon, balik batang, depan belakang—puluhan anak panah meluncur ke arahnya. Kecepatannya bahkan lebih gila dari serangan Ksatria hitam.
Hujan anak panah menyelimuti area. Ksatria hitam mengayunkan pedangnya, menebas setiap panah yang mendekat. Bunyi logam beradu memenuhi udara.
Aku nggak tahu gimana cara kerja tekniknya, tapi saking cepatnya anak panah itu melesat, yang kulihat cuma garis-garis cahaya yang menyatu jadi satu. Dan Ksatria hitam menebas semuanya, satu per satu. Suara benturan pun terus bergema, seakan-akan menjadi satu kesatuan.
Ini bukan pertarungan biasa. Ini pertempuran antara keahlian tingkat tinggi.
“Ugh… Sial──Aku tidak bisa bergerak! Mereka mengunci pergerakanku!”
Anak panah biasanya kalah cepat dibandingkan senjata api. Tapi hujan anak panah ini nggak ada tanda-tanda berhenti. Rasanya kayak ditembakin ratusan, bahkan ribuan orang sekaligus.
Anak panah yang dipotong dan jatuh ke tanah menciptakan lubang besar. Kayak ledakan bom. Memang sih, busur dan panah itu bukan senjata yang populer, tapi jelas bukan senjata lemah juga. Buktinya, Sven bisa sampai dapet gelar cuma dengan mengandalkan panah.
Setiap anak panah yang ditembakkan punya daya hancur yang luar biasa. Ksatria hitam bisa menebas semuanya dengan kekuatan pedang sihirnya dan teknik berpedangnya yang bikin merinding, tapi dia nggak bisa maju selangkah pun. Malah, dia pelan-pelan mundur. Ini musuh yang gila. Mereka nggak langsung nyerang kita, mungkin karena mau menghabisi satu per satu.
Lalu, entah karena nggak tahan lihat Ksatrai hitam kesulitan, Marin maju ke depan.
Wajahnya campuran antara sedih dan cemas. Dia membuka mulutnya sedikit, lalu melontarkan jeritan nyaring yang mengguncang keheningan hutan.
Itu adalah Ratapan-nya Marin. Suara terkutuk yang bisa membunuh siapa saja yang mendengarnya, bahkan secara fisik.
Seketika, garis anak panah yang melesat mulai bergetar sesaat karena kekuatan yang dulu mengguncangkan Gereja Cahaya.
Dan kemudian──Tino berbisik dengan suara gemetar.
“!? M-Master, mereka… kok kayaknya lemah banget!?”
“…Iya, lemah banget.”
Aneh. Nggak masuk akal. Waktu di Gereja Cahaya, ‘Ratapan’ ini jauh lebih mengerikan. Itu bisa membekukan jiwa orang yang mendengarnya dan langsung bikin mereka pingsan. Benar-benar kutukan yang pantas disebut sebagai yang terkuat.
Tapi sekarang? Cuma terdengar seperti jeritan biasa. Masih ada efeknya, tapi kalau dibandingin dengan yang dulu, ini terlalu lemah. Oh iya, waktu itu Marin juga sempat bikin tameng buat Ksatria hitam dari api hitam, kan? Kenapa sekarang nggak ada?
Begitu Marin menyerang, Phantom mulai mengubah targetnya. Beberapa anak panah beralih ke arahnya, menusuk tubuh kecilnya dan melemparnya ke belakang. Tongkat kutukan yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke tanah.
Ksatria hitam, yang sedikit lengah karena Marin, akhirnya kena anak panah juga. Dia terpental jauh, berguling beberapa kali di tanah sebelum akhirnya menghantam akar pohon besar. Pohonnya sampai berguncang hebat karena benturan itu.
Kekuatan anak panah ini udah nggak masuk akal. Serangan berhenti, dan hutan kembali sunyi.
Kalau aku yang kena? Udah mati dari tadi. Tapi… mereka bukan aku.
“!? J-Jangan-jangan… umm… dendamnya sudah mulai hilang? Lagian, dia mendengarkan manusia saja sudah aneh banget kan!?”
“…Kalau dipikir-pikir, masuk akal juga sih.”
Aku sama sekali nggak kepikiran soal ini. Kutukan itu pada dasarnya adalah luapan emosi yang kuat dan terwujud dalam bentuk sihir. Kalau perasaan dendamnya mulai memudar, kekuatannya juga bakal ikut berkurang. Seharusnya aku sadar sejak awal, soalnya Marin udah jadi lebih tenang bahkan tanpa disegel.
Ini gawat. Aku udah ngerencanain buat ngandelin Marin, tapi sekarang… gimana?
Marin, yang tadi terlempar jauh, mulai melayang kembali seperti sedang mengapung.
Walaupun kekuatannya melemah, daya tahan absurd yang dia tunjukin di Gereja Cahaya masih ada. Anak panah itu jelas kena tepat di tengah tubuhnya, tapi dia nggak terluka sama sekali. Tapi ekspresinya… keliatan ketakutan dan bingung.
“??? K-Kenapa??”
Marin mengeluarkan suara gemetar, penuh kebingungan. Padahal, aku juga pengen nanya hal yang sama. Kayaknya dia sendiri baru sadar kalau kekuatannya udah berkurang drastis.
Kalau Marin aja kayak gini, berarti kekuatan Ksatria hitam juga pasti menurun. Apa karena mereka sempat ditelan oleh Shelo? Atau… mungkin karena aku udah memperlakukan benda-benda terkutuk mereka dengan baik, jadi mereka kehilangan alasan buat punya dendam? Waktu mereka masih musuh, mereka sekuat itu, tapi begitu jadi sekutu malah melemah…
Kenapa nggak kasih tahu aku satu jam lebih awal sih? Harusnya aku tahu ini sebelum Phantom menyerang, bukan setelahnya.
“…T-Tapi ya udah lah, kita masih belum kalah.”
“!?”
Nggak ada rencana lain sih, tapi aku tetap ngomong gitu dengan nada nekat. Marin langsung menoleh ke arahku dengan wajah kaget.
Awalnya, kalau kekuatan Marin nggak mempan dan gagal mengulur mereka, aku udah siap buat kabur. Tapi hujan panah tadi—cepatnya setara sama sihir serangan Lucia—bisa nggak ya, kita kabur dari sini?
Seorang pemanah hebat bisa menembak dari jarak lebih dari satu kilometer. Kalau ini Phantom dari Treasure Vault Level 10, pasti penglihatan mereka juga luar biasa. Rasanya panah bisa datang dari mana aja.
Serangan panah berhenti. Tapi Phantom masih di sana, nggak pergi.
Diam, tapi creepy, mereka tetap mengamati kami dengan topeng kosong mereka.
Ksatria hitam yang tadi dihantam mulai bangkit, meski goyah. Armor-nya penyok parah dan ada lubang besar, tapi untungnya dia masih bisa gerak.
Dia mengangkat pedangnya dan berdiri di depan Marin, seolah-olah melindunginya. Tapi kalau diserang dari segala arah, rasanya itu nggak bakal cukup.
“Master—pihak musuh masih punya magi.”
“Kenapa mereka nggak nyerang kita?”
“…Mungkin mereka masih mengukur kekuatan kita. Buat memastikan kemenangan mereka… Sama seperti Hunter yang selalu mengamati monster baru sebelum bertarung. Atau mungkin, mereka lagi nunggu sekutu mereka datang—”
Oh… Jadi ini khas Phantom di Treasure Vault level tinggi ya. Harusnya aku seneng karena kita masih dikasih waktu, tapi…
Gimana kalau mereka diem aja terus begini selamanya?
Sambil tetap berjaga-jaga, aku jongkok dan ngambil tongkat yang jatuh tadi. Lalu aku ngomong ke Tino.
“Tino, masuk ke dalam Mimic-kun.”
Marin dan Ksatria hitam itu kuat. Eh, atau lebih tepatnya, dulu kuat—sekarang jadi lemah. Tapi kutukan itu biasanya nggak bisa dihapus dengan serangan biasa. Dan aku sendiri masih punya Safe Ring sebagai jaminan, tapi Tino nggak punya perlindungan apa pun.
Gimana nanti setelah Tino masuk ke Mimic-kun, itu urusan belakangan. Yang jelas, masih lebih baik daripada harus bertarung di sini.
Mendengar ucapanku, Tino mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan menatapku.
Mata hitam indahnya bergetar, hampir seperti mau nangis. Lalu dia ngomong dengan suara bergetar.
“Ti-Tidak—kali ini, aku juga akan bertarung!!”
“……Eh?”
“Aku tahu aku masih kurang kuat. Tapi… Aku tidak bisa terus-terusan dilindungi Master!! Aku sudah latihan supaya bisa bertarung bersama Master!!”
Begitu dia menyelesaikan kalimatnya, suaranya udah nggak bergetar lagi. Dia menatap Phantom dengan tekad kuat.
Ucapannya penuh dengan keyakinan. Marin dan Ksatria hitam juga kelihatan terkejut melihatnya.
…Padahal rencanaku setelah menyuruh Tino kabur, aku juga bakal ikut kabur. Tapi dengan situasi begini, kayaknya ngomong gitu bakal bikin suasana tambah canggung.
Aku cuma bisa pasang senyum sok santai, sementara Tino bicara pelan padaku.
“Musuh ini hati-hati. Mereka masih mengamati kita. Pasti ada celah yang bisa kita manfaatkan. Aku… Aku tidak bisa melakukan apapun kalau tetap di belakang. Aku akan maju.”
??? Dia nggak liat apa yang terjadi sama Ksatria hitam waktu dia maju dan langsung kena bombardir?
“Kalau aku maju, mereka pasti tidak bisa mengabaikanku. Aku akan membuka celah. Dan saat itu, Master seranglah!”
“…Kamu bisa ngatasi serangan panah?”
“Kalau kita bertiga maju bareng, serangan mereka bakal terbagi. Dan… aku akan menghindarinya dengan semangat!!”
Tino mengepalkan tinjunya, ngomong kayak lagi menyemangati diri sendiri. Itu terlalu nekat sampai aku ketawa.
Tapi keberanian nekat itu… nggak salah lagi, dia pasti nurunin dari teman-teman masa kecilku. Rasanya aku jadi tanggung jawab. Santai aja, nggak perlu maksa diri kayak gitu… kita bakal kabur kok.
Kalaupun harus bertarung, peran itu jelas bukan buat dia.
Aku sendiri nyaris nol dalam urusan bertarung, dan kalau mau ada yang jadi main attacker, itu harus orang lain… bukan aku.
Aku menarik napas panjang, lalu menepuk pundak juniorku yang terlalu berani ini sebelum maju ke depan dan bilang:
“Tino, keberanian itu penting buat seorang Hunter. Tapi, jangan sampai lupa tujuan kita.”
Kayaknya aku pernah ngomong hal yang mirip waktu di Sarang Serigala Putih.
“Tu-Tujuan…!!”
Tino langsung membelalakkan matanya. Betul. Tujuan kita kali ini bukan buat ngalahin musuh.
Aku suruh Marin dan Ksatria hitam maju cuma buat ngulur waktu. Bahkan, sebenarnya kita nggak perlu repot-repot menjaga perangkat itu.
Phantom masih diem, kayak lagi nunggu sesuatu. Sitri bilang kalau Treasure Vault makin melemah, bentuknya bakal runtuh. Tapi… berapa lama waktu yang dibutuhin buat mereka beneran hilang? Kalau bisa, langsung aja sekarang…
Aku memasang wajah penuh percaya diri dan ngomong biar Tino menurut buat masuk ke dalam Mimic-kun.
“Aku punya──rencana.”
“Ngh!?“
Tepat saat itu, suara ledakan keras bergema di seluruh ruangan.
Pikiranku langsung kosong. Dari atas, pecahan kaca berkilauan jatuh, bikin aku refleks mendongak.
Mana Material Agitator—perangkat itu udah setengah hancur. Panah hitam menancap di mana-mana.
Aku nggak sempat bereaksi apa-apa, tapi kayaknya Phantom baru aja menyerang perangkat itu.
Mereka nggak tahu perangkat itu buat apa… tapi tetap menyerangnya? Pinter juga ya…
“!? Master!”
“Te-Tenang, Tino. Kita nggak butuh perangkat itu.”
Yang lebih penting sekarang adalah nyawa kita. Dan sepertinya, kita nggak punya waktu buat nunggu mereka melemah.
Tiba-tiba, Safe Ring di jariku aktif. Panah yang melesat ke arahku terpental jauh, dan baru sadar kalau aku tadi diserang.
Kecepatannya jauh di atas kemampuan otakku buat ngeh apa yang terjadi. Udah bukan level bisa dihindari lagi.
Ksatria hitam mengayunkan pedangnya, menebas panah yang datang. Marin mengerahkan ratapan melemahnya buat mengintimidasi Phantom. Tino, dengan wajah penuh tekad, menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah ke depan dan meninju udara.
Beberapa panah menancap ke tanah. Dia ngebelokin arah panahnya? Serius, dia bisa nangkis panah Phantom Level 10 pakai tangan kosong?! Dia monster apa gimana?!
“! M-Master! Magi mereka… lagi mengumpulkan energi mana!!”
Tino berteriak panik. Kayaknya Phantom udah berhenti nunggu dan mulai bertindak.
Bahkan aku bisa dengar suara listrik menggelegar di udara.
Aku mendongak. Dari segala arah, cahaya mulai terkumpul di langit.
Sihir magi itu semakin besar, semakin lama juga mereka ngecas. Dan ini… ritual sihir. Banyak magi ngumpulin kekuatan buat satu serangan besar. Mereka nembakin kita pakai panah buat nahan kita di tempat, terus ngeluncurin serangan pamungkas buat menghapus semuanya.
…Tapi ya, aku masih punya Safe Ring. Sampai sekarang, baru satu yang kepake, jadi aku masih aman.
“!? M-Master, tiba-tiba kayak gitu—hyaah!?”
Aku menarik Tino yang wajahnya menegang. Safe Ring memang dasarnya cuma bisa melindungi satu orang, tapi kalau nempel erat, masih bisa nutupin dua orang dengan susah payah. Marin dan Ksatria hitam… yah, mereka nggak masalah. Lagian, mereka kan kutukan.
Terus, tanpa pikir panjang, aku coba mengangkat tongkatku—dan baru sadar sesuatu.
Tongkat ini… berat. Nggak bisa diangkat. Aku buru-buru melihat ke bawah.
Ujung tongkat itu nancep ke tanah. Bukan—lebih tepatnya, bukan sekadar nancep.
Dari ujung tongkat, akar-akar mirip tentakel tumbuh, menusuk ke dalam tanah. Akar-akar itu terus menggeliat, menjalar ke segala arah. Aku coba tarik keluar dengan tenaga penuh, tapi nggak bisa …Ini tongkat macam apa, sih?
Tino yang ada di dekapanku ikut ngelirik ke bawah, langsung membeku di tempat.
Saat itu juga, akar-akar yang tadinya menyebar ke segala arah tiba-tiba berbalik arah.
Yang mereka incar adalah… cahaya di langit, energi destruktif yang sedang dikumpulkan.
Akar-akar itu menyentuh cahaya, langsung terpental dengan keras.
Setengah dari mereka terbakar habis, bau gosong menyengat menyebar ke udara. Tapi, tongkat ini nggak menyerah.
Akar-akar yang baru muncul terus melesat ke arah cahaya, tanpa peduli tubuhnya terbakar.
Tanah di bawah kaki kami mulai bergetar hebat. Retakan besar terbentuk, sesuatu yang hitam muncul dari dalamnya.
Aku melihat ke bawah. Itu… batang pohon. Warnanya sama dengan tongkat ini—hitam legam. Jadi, tongkat yang menusuk tanah tadi ternyata tumbuh di bawah permukaan?
Aku hampir terjatuh, buru-buru mencengkeram tongkat erat-erat. Mimic-kun juga mengeluarkan tangan, menggenggam batang pohon itu.
Situasinya terlalu absurd sampai aku malah senyum kecil. Tapi di bawahku, Tino tiba-tiba berseru:
“!?… I-Ini… Black World Tree!!”
Mendengar itu, mataku membelalak.
Itu nama kutukan yang pernah setengah menghancurkan Akademi Sihir Zebrudia. Pada akhirnya, pohon itu dibakar sampai jadi abu oleh Lucia dan Hunter Level 8, Abyssal Inferno, Rosemarie Puropos.
Dan dari abu itulah… tongkat ini dibuat.
Aku sampai lupa. Soalnya… yah, yang bikin tongkat ini kan bukan aku.
“…Udah dibakar sampai jadi abu dan dibuat ulang, tapi masih hidup? Ngeri juga, ya.”
Cahaya yang dibuat oleh Phantom terus dililit akar-akar itu, sedikit demi sedikit kehilangan sinarnya, sampai akhirnya sepenuhnya tertelan.
Aku inget sesuatu dari buku kutukan.
Black World Tree itu katanya tiruan dari World Tree yang asli. Kalau yang asli nyedot energi dari leyline buat tumbuh, yang ini malah nyerang makhluk hidup dan makan mana mereka. Di Akademi Sihir Zebrudia, dia tumbuh sampai lebih gede dari bangunan sekolah setelah makan sihir dari banyak magi.
Tapi, kecepatan tumbuhnya sekarang bahkan lebih gila dari itu. Pandanganku tiba-tiba melonjak ke atas.
Tanah terbelah, dan Black World Tree terus menjulang, berubah jadi raksasa hitam.
Aku mencengkeram tongkatnya erat-erat biar nggak terjatuh.
Untungnya, untuk sekarang pohon ini sepertinya nggak tertarik sama aku atau Tino.
Para Phantom serentak menyerang. Panah-panah dan sihir mereka yang tadinya mengarah ke kami, kini tertuju pada batang pohon.
Guncangan dahsyat menerpa kami. Tapi Black World Tree nggak goyah. Ukurannya udah terlalu gede buat dihancurin cuma pakai serangan biasa. Lubang-lubang yang tercipta langsung pulih dengan kecepatan yang lebih gila.
“M-Master, ini… dia menyerap Mana Material dari leyline!?”
“Eh?”
“A-A-Aku sempet belajar lagi setelah kejadian itu, dan… Black World Tree kan harusnya makan mana karena tidak bisa menyerap Mana Material—”
Gawat… Kayaknya kita sudah berhasil keluar dari bahaya, tapi ada kemungkinan kita malah membangunkan monster yang nggak seharusnya bangun. Kalau dibandingin sama Marin dan Ksatria hitam yang udah lebih kalem, Yang ini masih terlalu mengerikan. Malah lebih parah dari yang aku lihat di Akademi Sihir dulu.
Tino melotot kaget sambil teriak.
“Ma-ma-ma-ma-masa ada rencana yang seperti ini—?! Master! Master!!“
“…Iya iya, bener banget.”
Serius, masa ada rencana kayak gini?! Enggak ada lah!
Phantom yang ada di sekitar langsung mundur waspada. Pergerakan Black World Tree tiba-tiba berhenti.
Apa dia udah nyerah buat ngejar mereka? Atau emang kena damage gede?
Kami menelan ludah sambil mantengin situasi, dan tiba-tiba tanah di bawah kami bergetar lagi.
Dari atas pohon, aku bisa lihat semuanya kayak bencana alam.
Tanah di sekitar retak dan pecah, terus akar hitam mulai bermunculan dari celah-celahnya.
Serangan mendadak dari bawah—serangan yang hampir mustahil buat dihindarin. Akar-akar itu melesat cepat dan tajam, kayak tombak yang dilempar oleh seorang ahli.
Phantom-phantom itu langsung dikepung dan terjerat akar. Mereka berusaha nebas akar itu, tapi akar Black World Tree bisa nyerap sihir dan regenerasi meski bolong besar. Jadi ya, nggak mungkin bisa lepas gitu aja. Phantom yang dari Shrine of Origins emang kuat, tapi kalau cuma thief dan magi, ya nggak bisa nandingin kekuatan brutal ini.
Sementara itu, Marin dan si Ksatria hitam juga sama-sama terpaku melihat kekacauan ini. Aku juga pengen bengong sih, tapi kalau dipikir-pikir… ini sebenernya untung juga, kan?
Setidaknya, Black World Tree ini nggak seagresif Phantom yang tadi. Ya… meskipun janji ke Selene buat nggak bunuh siapa pun kayaknya nggak bakal bisa ditepati, tapi mau gimana lagi.
Hutan ini penuh dengan kekuatan magis, jadi pasti jadi sumber makanan yang sempurna buat Black World Tree. Batangnya berdenyut, terus tumbuh makin besar. Meskipun cuma tiruan, tetap aja ini pohon yang berusaha jadi World Tree asli.
Walaupun dia nggak nargetin kita, kalau aku sampai jatuh dari sini, pasti langsung gepeng. Harus hati-hati—tapi pas aku lagi mikir gitu, tiba-tiba akar-akar yang ngebungkus Phantom itu bergetar… terus mereka dilempar gitu aja ke tanah.
Aku dan Tino yang masih bertahan di batang pohon langsung melihat ke bawah, dan Tino teriak kaget.
“!?!? E-Eh? Dari dalam Phantom keluar… Spirit Noble!? Jadi itu maksudnya!?”
Serius!? …Eh, maksudnya, gimana dia masih bisa berteriak sesemangat itu dalam situasi kayak gini?
Aku nyoba fokus ngeliat ke bawah, tapi kejadian ini terlalu jauh buat mataku.
Aku pernah dengar kalau penduduk Yggdra diubah jadi Phantom. Dan Finis katanya bisa nyelametin mereka dengan ngilangin Mana Material.
Kalau Black World Tree bisa nyedot Mana Material dari tanah, berarti dia juga bisa nyedot dari Phantom.
Satu per satu Phantom yang ditangkap langsung dibuang gitu aja. Kayak sampah yang udah nggak berguna lagi.
Spirit Noble yang jatuh di tanah kelihatan nggak bergerak. Tapi mungkin mereka belum mati. Dulu pas di Akademi Sihir juga nggak ada korban jiwa, kan…?
Tino, yang matanya masih terbelalak, ngomong dengan nada girang.
“Luar biasa kecepatannya itu…! Dan jumlahnya begitu banyak…! Master, ini lebih efisien dari metode Finis! Aku tidak nyangka Black World Tree punya kemampuan ini…! Jangan-jangan… insiden di ibu kota dulu… cuma latihan saja!?”
Lho? Kok bisa nyambung ke situ? Logikanya di mana?
Jujur aja, dari awal sampe sekarang nggak ada satu pun yang berjalan sesuai rencanaku.
“Serius deh… berapa banyak orang yang udah jadi Phantom sih…?”
Sambil ngomel-ngomel pelan, aku sadar kalau hutan tiba-tiba jadi sunyi. Nggak ada satu pun serangan yang datang ke arah kami. Ini terlalu sepihak.
Ternyata urusan kecocokan itu penting banget, ya… Siapa sangka kalau Phantom dari Treasure Vault Level 10 aja nggak bisa ngapa-ngapain?
Setelah puas melahap mangsanya, Black World Tree akhirnya berhenti bergerak.
Kalau udah kenyang, balik jadi tongkat aja, dong… Aku juga mau lihat kondisi orang-orang yang tadi dilempar begitu aja.
Pohon yang awalnya kecil banget sekarang udah jauh lebih besar dari pepohonan di hutan ini. Seberapa banyak Mana Material yang dia sedot sampai bisa tumbuh segede ini?
—Tapi, tetap aja masih jauh dibandingkan dengan World Tree yang asli.
Dari posisi tinggi ini, aku bisa melihat jelas betapa konyolnya ukuran World Tree yang asli. Meski jaraknya beberapa kilometer dari sini, pohon itu tetap terlihat menjulang tinggi.
Angin dingin bertiup, bikin aku merinding. Dan di saat itu juga, Black World Tree mulai bergerak perlahan.
—Ke arah World Tree menjulang tinggi.
Sepertinya, makan Phantom aja nggak cukup buat dia.
Tino yang juga sadar akan hal itu langsung berteriak panik.
“Ma-Master! Pohon ini… tertarik dengan Shrine of Origins!?”
“…Wah, gawat nih.”
Makhluk hidup normalnya bakal ngerti bahaya secara naluriah, tapi pohon ini jelas nggak punya naluri semacam itu.
Meskipun Phantom di sini gampang dikalahin, masuk ke sarangnya musuh yang isinya Phantom-nya para dewa itu tetap bukan pilihan yang bagus. Bahkan kalaupun Black World Tree berhasil menyusup dan jadi makin kuat, itu tetap bakal bikin keadaan makin kacau.
Kayaknya waktu yang kami butuhkan udah cukup. Toh, perangkatnya udah dihancurin, jadi nggak ada alasan buat tetap di sini. Lagi pula, Sitri dan yang lain pasti bisa ngatasin Black World Tree ini.
“Baiklah… kita bawa aja dia ke tempat Sitri dan yang lain.”
“!?!? C-Cara bawa-nya gimana!?”
“Itu… yaa, pake trik kayak ngebujuk kuda pake wortel gitu…”
Tadi, Black World Tree lebih milih nyerang Phantom dulu. Jadi harusnya perhatiannya ke Shrine of Origins nggak terlalu besar.
“T-Tapi… wortel-nya apa? Dia bahkan tidakpeduli sama kita…”
“Hmm, gimana ya… Waktu di akademi, katanya dia sempet ngejar para magi, kan…”
Jadi, artinya dia tertarik sama Mana dan Mana Material.
Dia nggak ngejar Marin, entah karena sesama kutukan atau karena Marin sendiri nggak punya Mana.
Asal bisa menarik perhatiannya, harusnya bisa dipancing. Kalau dia bereaksi sama relik, lebih gampang. Tapi, entah kenapa, Black World Tree sama sekali nggak tertarik sama relik, padahal benda itu juga penuh Mana. Kriterianya bener-bener susah dimengerti.
Aku menghela napas kecil, lalu dengan setengah pasrah, aku bilang ke Mimic-kun.
“Mimic-kun, coba keluarin sesuatu yang ada Mana-nya, tapi bukan relik.”
Aku cukup paham sama kemampuan Mimic-kun. Dia emang luar biasa sebagai Magic Bag yang bisa menyimpan barang di ruang terpisah, tapi tetap aja, dia nggak bisa ngeluarin barang yang nggak pernah dimasukin.
Tapi anehnya, tanpa ragu sedikit pun, Mimic-kun langsung memuntahkan sebuah kantong kain.
Kantong biasa, nggak ada yang aneh. Aku merasa pernah lihat ini sebelumnya… atau mungkin cuma perasaan aja.
Saat itu juga, Black World Tree yang tadi bergerak dengan suara berdebum tiba-tiba berhenti. Aku berkedip beberapa kali, lalu memberanikan diri buat membuka kantong itu dan mengintip isinya.
Di dalamnya—ada benang emas dan perak. Benangnya halus, berkilau, dan waktu disentuh terasa dingin.
Tapi… ini bukan sekadar benang.
Aku mengamati lebih dekat, lalu menyerahkannya ke Tino yang langsung membeku dengan mata terbelalak.
Ini… rambut.
Rambut Astor dan yang lainnya, yang aku dapet waktu nolongin Selene. Rambut milik kaum Spirit Noble, yang punya bakat alami dalam sihir.
Buat kaum mereka, rambut ini lebih dari sekadar helaian—ini bisa jadi katalis sihir yang luar biasa kuat. Benda ini mungkin cuma kalah penting dibanding nyawa dan harga diri mereka.
Dan pastinya, rambut ini penuh dengan Mana yang luar biasa kuat.
Tino masih bengong, sementara di sisi kiri dan kanannya, ranting-ranting hitam mulai menjulur dengan cepat.
Sebelum dia sempat ketangkep, aku buru-buru ngomong.
“Tino, pake Kar-kun buat mancing dia pergi, ya.”
◇
Bahkan bagi Selene, yang sudah hidup ratusan tahun, pemandangan ini benar-benar di luar akal sehat.
Sebuah raksasa hitam pekat yang belum pernah ia lihat sebelumnya sedang bergerak melewati hutan. Ukurannya jauh lebih besar dari pepohonan raksasa yang membentuk hutan ini, dan dari tubuhnya menjulur banyak sekali sesuatu yang mirip tentakel.
Tapi… bukan, itu bukan raksasa. Itu… tanaman.
Selene yang hidup di hutan dan mencintai alam di Yggdra, dia belum pernah melihat pohon seaneh ini sebelumnya. Sebuah pohon hitam pekat yang menggunakan akarnya sebagai kaki dan cabangnya sebagai tangan.
Dan di ujung salah satu cabangnya—ada Tino, yang seharusnya bersama manusia itu.
Ia mengendalikan karpet terbang, berusaha mati-matian menghindari cabang-cabang hitam yang melesat ke arahnya.
Pohon hitam raksasa itu dipenuhi energi luar biasa. Mana Material dan Mana mengalir deras ke dalamnya.
Tapi… bukan cuma itu. Selene mencoba berpikir jernih di tengah kebingungannya.
“Dia… menyerap Mana Material…?”
Yang paling mengejutkan adalah jejak yang ditinggalkan oleh pohon itu.
Seperti air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah, Mana Material di udara tersedot menuju pohon itu.
Bahkan Mana Material yang sebelumnya dipompa ke atas oleh perangkat pengaduk sekarang juga ikut tertarik. Ada aliran Mana Material yang terbentuk.
Dan anehnya, itu persis seperti apa yang Selene dan yang lainnya coba lakukan sebelumnya.
“Itu…!”
Lucia membuka matanya lebar-lebar dan berseru. Tapi setelah itu, dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
Itu jelas reaksi seseorang yang tahu persis apa yang sedang terjadi.
Anggota Grieving Souls yang lain menatap Lucia yang membeku dengan ekspresi tegang, lalu mereka mulai bicara satu per satu.
“……Krai-chan, kalau bikin kekacauan, selalu luar biasa ya.”
“……Umu.”
“Aaah… aaah… aaah… Jadi ini triknya? Wah, tapi kalau aku sendiri, jelas tidak akan bisa melakukan itu!!”
“……Anehnya, kenapa si Manusia Lemah sering banget melakukan hal-hal seperti ini, tapi tidak pernah ketangkep, desu?”
“Hmph… mungkin manusia lebih tangguh dari yang kita kira.”
Selene mengirimkan Miles untuk mengonfirmasi.
Ternyata, manusia itu ada di atas pohon hitam itu.
Jadi ini rencana Thousand Tricks yang disebut Sitri tadi…?
Bahkan rencana perangkat pengaduk Mana Material saja sudah di luar imajinasi Selene, tapi yang ini… dia sama sekali tidak paham. Setelah melihat strategi Thousand Tricks, strategi yang dibuat oleh Sitri jadi terlihat jauh lebih biasa.
Sementara itu, Tino masih berusaha mati-matian mengendalikan karpetnya sambil berteriak seperti orang putus asa.
“Kak Sitriiiii! Tolong akuuuuu!!”
“…! T-chan! Masih inget kan tempat buat pasang perangkatnya!? Ikuti garisnya!!”
Sitri berteriak. Dia seharusnya tidak bisa melihat pergerakan Mana Material, tapi sepertinya dia langsung paham situasinya dari kata-kata Selene. Dia berniat pakai pohon itu untuk mencapai tujuan mereka dengan cara baru.
“!? K-kenapaaaa harus akuuu!?”
“Udah, lakukan aja, T! Atau mau tukeran sama aku!?”
“A-A-Aku lakukan!!”
Serangan pohon itu tidak terlalu cepat, tapi jumlahnya luar biasa banyak. Kalau sampai ketangkap, entah apa yang akan terjadi, tapi yang jelas pasti bukan hal bagus.
Ekspresi pucat Tino mengingatkan Selene pada dirinya yang dulu.
Sayangnya, dia tidak bisa bilang “jangan lari” atau semacamnya. Karena Selene sendiri pun tidak bisa melakukan apapun.
Dan saat itu juga—pohon yang tadinya terus mengejar Tino tiba-tiba berhenti.
Cabang-cabang yang tadinya mengarah ke Tino mendadak diam. Hutan kembali sunyi.
Kris, yang sama kagetnya seperti Selene, menatap pohon itu dengan bingung.
“!? B-Berhenti…? Apa yang si Manusia Lemah mau lakukan sekarang, desu?”
“…Sebenernya, kita saja tidak tahu itu apa… Itu sesuatu yang bisa dikendalikan?”
Dari cara Tino masih mati-matian menghindar, kelihatannya sama sekali bukan ada tanda-tanda kalau pohon itu bisa dikontrol.
Mereka kembali mengamati pohon yang sekarang diam. Batang dan daunnya hitam pekat, seolah menyerap cahaya. Akar besar yang menggerakkannya, batang yang bahkan lebih tebal dari pohon tertua di Yggdra.
Dan semakin lama dipandang, perasaan tidak nyaman mulai muncul. Seperti rasa mengerikan yang datang secara naluriah.
Pohon yang bisa menyerap Mana Material tanpa batas ini jelas bukan sesuatu yang pantas ada di hutan.
“…Ini… pohon yang mengerikan. Finis—spirit penjaga Yggdra, gemetar ketakutan,”
Ruine bicara dengan wajah tegang. Di atas kepalanya, Finis si spirit kekeringan tampak menggigil ketakutan.
Ini pertama kalinya Selene melihat sahabatnya, yang selalu tenang dan bisa diandalkan, memasang ekspresi seperti itu. Sepertinya bahkan Ruine pun baru pertama kali melihat pohon ini.
Sampai sekarang, dia berpikir tidak masalah memakai “racun” kalau itu bisa menyelamatkan dunia, tapi mungkin pemikirannya terlalu dangkal.
Dan saat itu juga—wajah Lucia, yang tadinya membeku melihat taktik kakaknya, langsung pucat.
Bahkan saat melawan Finis, dia tidak sampai berteriak seperti ini. Tapi sekarang, suaranya menggema di seluruh hutan.
“Se-Semua orang, lariii! Itu akan menyerang yang punya Mana kuat!!”
“!?”
“Itu… targetnya terlalu banyak, jadi dia bingung!”
Pohon itu kembali bergerak. Cabang-cabangnya menghantam habis prajurit tanah yang masih berdiri, lalu menyerbu ke arah Selene.
Dan kali ini, lebih cepat dari yang mereka bayangkan.
Selene buru-buru melompat ke samping untuk menghindar. Hutan pun berubah jadi neraka.
Sepertinya, karena pohon itu kebingungan menentukan target, dia memutuskan untuk mengejar semuanya sekaligus.
Lapis berteriak dengan suara lantang.
“Ugh…! Lari! Jangan sampai ketangkap!!”
“!? Yang benar saja!? Manusia Lemah, dasar bodooooh!!”
Para anggota Starlight serempak berlari. Cabang-cabang pohon itu sudah lebih dulu menjulur ke arah mereka.
Sedikit terlambat, Ruine ikut melesat, dan Selene pun buru-buru menghentakkan kakinya dari tanah.
Cabang-cabang itu tidak bisa dibilang super cepat, tapi juga tidak cukup lambat untuk diremehkan. Kalau tidak lari sekuat tenaga—mereka bakal ketangkap.
Yang jadi target sekarang adalah para anggota Starlight, Lucia, Ruine, dan Selene.
Sambil menghindari serangan, Lucia terus menembakkan panah es, tapi pohon itu sama sekali tidak melambat.
Entah kenapa, Liz tidak jadi target serangan, tapi dia tetap ikut berlari bersama Lucia.
“Tolong jangan lari sendiri-sendiri, yaa! Masih ingat kan tempat untuk pasang perangkatnya!? Arahkan aliran Mana Material-nya dengan benar!”
Dari balik pohon, Sitri berteriak dengan nada santai, seolah dia malah menikmati situasi ini.
Dan begitu saja, permainan kejar-kejaran neraka yang tidak boleh sampai ketangkap pun dimulai.
◇
Pertemuan pertama mereka cuma kebetulan. Saat Adler sadar kalau Thousand Tricks mungkin sejenis dengannya, dia merasa terkejut sekaligus bersemangat. Waktu mereka dihajar habis-habisan oleh satu pasukan Phantom, dia merasa pahit karena kalah, tapi di saat yang sama juga girang karena melihat potensi kekuatan baru.
Keahlian ia saat menyelamatkan Ruine membuat dia merinding, tapi dari situ juga dia bisa menemukan cara untuk mengendalikan Phantom.
Tapi sekarang, pemandangan yang terpampang di Mirror of Reality membuat Adler lebih kaget dari sebelumnya.
“Ku… Kukuk… Jadi ini yang namanya kecerdikan iblis Thousand Tricks…! Aku sudah dengar tingkat keberhasilan dia itu seratus persen, tapi… ini tidak masuk akal!!”
Tidak ada lagi kegembiraan. Tidak ada lagi harapan untuk suatu hari nanti bisa melampaui Thousand Tricks. Semuanya hancur.
Jarak antara mereka terlalu jauh. Tidak peduli sekuat apa pun monster yang dia kumpulkan, tetap tidak akan cukup untuk menutupi kesenjangan itu.
Dulu, Adler pikir kemampuan untuk menyusun strategi itu penting bagi seorang Guide, tapi bukan yang utama. Yang paling penting adalah berkeliling dunia dan menaklukkan monster-monster kuat.
Tapi ini… Ini sesuatu yang mustahil dia kalahkan.
Benar-benar kecerdikan iblis. Kecerdikan yang hanya bisa dimiliki oleh dewa atau makhluk ilahi.
Cara dia mengatur situasi, kartu-kartu yang dia pegang, bahkan keberaniannya pun beda jauh. Adler pikir dia sudah paham kalau ada perbedaan kekuatan di antara mereka. Tapi ternyata… itu cuma pikirannya saja.
Begitu Adler memejamkan mata, semua yang tadi dia lihat di cermin muncul jelas di kepalanya.
Bagaimana Thousand Tricks mendarat di dekat World Tree menaiki karpet bersama Tino. Bagaimana dia memanggil hantu dan Ksatria Hitam. Dan yang paling gila—bagaimana dia memperbesar tongkat itu untuk mengembalikan Phantom jadi Spirit Noble…
“Serius… Dia benar-benar menyelamatkan semuanya…? Gimana caranya dia bisa memancing keluar para Phantom yang dulunya Spirit Noble saja?”
“…Itu pohon juga aneh. Itu monster atau bukan, sih…? Sepertinya tidak bisa dikendalikan, tapi tetap saja~”
“Sepertinya pohon itu selama ini dalam keadaan tidur dalam bentuk tongkat. Aku tidak pernah kepikiran untuk pakai monster yang tidak bisa dikontrol, tapi… ini yang namanya Dragon’s Gambit ya…? Sial.”
Quint mengepalkan tangan dan menggeram kesal.
Dragon’s Gambit—strategi kuno yang pernah dipakai di masa lalu. Sebuah rencana yang penuh risiko, di mana mereka menggunakan amarah seekor naga untuk mengendalikan monster berkekuatan luar biasa, lalu menjatuhkan musuh yang punya keunggulan kekuatan mutlak.
Dulu, Adler pernah menertawakan strategi ini.
Bagi dirinya, kalau harus pakai strategi berisiko tinggi, itu tandanya seseorang itu lemah. Dan sebagai seorang Guide, monster yang kuat itu bukan untuk diajak kerja sama, tapi untuk ditaklukkan. Kalau dia tidak bisa mengendalikan monster itu, berarti dia masih kurang kuat.
Alasan dia berguru sama Thousand Tricks adalah untuk menyerap kekuatan dan suatu hari nanti melampauinya. Tapi sekarang, Night Parade bahkan kalah tanpa bertarung. Baik Uno maupun Quint sudah kehilangan semangat bertarung.
Dia terlalu brilian. Terlalu bebas.
Selalu tenang, tidak pernah goyah. Bahkan saat menatap langsung ke Mata Dewa, dia tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut.
Bukan cuma bakat luar biasa, ini sesuatu yang bahkan tidak bisa dijadikan panutan.
Untuk pertama kalinya, Adler benar-benar takut pada Thousand Tricks.
Sama seperti dulu ketika para hunter dan prajurit gemetar saat berhadapan dengan Yuden.
Seorang Guide tidak menggunakan sihir untuk mengendalikan monster.
Alasan kenapa monster mengikuti mereka adalah karisma mereka.
Itulah kenapa seorang Guide harus jadi penguasa mutlak bagi para monster mereka.
Begitu mereka kehilangan posisi sebagai raja, begitu mereka menunjukkan kelemahan… monster mereka tidak akan lagi tunduk.
Mungkin mereka masih bisa menghentikan amukan World Tree. Atau lebih tepatnya—pria itu pasti akan menemukan cara buat menghentikannya. Tapi bahkan kalau semuanya berakhir dengan selamat, Night Parade tetap akan tamat kalau begini terus.
Mereka sudah tersudut.
Yang kalah di dalam hati nggak bisa jadi raja.
Harus ada cara untuk mengubah keadaan. Tapi Thousand Tricks terlalu kuat. Bahkan dalam kondisi terbaik pun, mereka tetap tidak akan bisa menang.
“Pohon itu… tidak punya cukup kekuatan untuk langsung menyerap Mana Material dari leyline,” Uno berkata dengan ekspresi serius. “Makanya Thousand Tricks pakai perangkat pengaduk ManaMaterial sebagai bagian dari rencananya. Dia mengganggu Mana Material dan mengarahkannya ke pohon itu… untuk mempercepat pertumbuhannya.”
Lalu, dengan suara pelan, Uno menyimpulkan,
“Adler-sama… kalau seperti itu… mungkin pohon itu bisa… menghancurkan Shrine of Origins.”
Tatapan Uno bertanya. Apa yang harus mereka lakukan sekarang?
Uno Silva itu anak yang pintar. Dia paham situasinya dengan jelas.
Adler, tanpa sadar, berbisik,
“……Seorang pahlawan, ya?”
Aku yakin. Pria itu akan jadi bagian dari sejarah suatu hari nanti.
Dan gimana sejarah bakal mencatat nama Night Parade—itu tergantung dengan pilihan yang Adler buat sekarang.
Adler memperhatikan perangkat pengaduk Mana Material yang masih berjalan pelan sambil mikir. Thousand Tricks pasti akan sampai ke tempat mereka sebentar lagi. Dia harus memutuskan sikap.
Kalau mereka gabung saja bersama Thousand Tricks, mereka tidak akan lebih dari sekadar pecundang yang kalah dan akhirnya jadi murid Thousand Tricks. Bukan musuh, bukan juga sekutu—hanya sekumpulan orang kalah yang tidak punya harga diri.
Tapi kalau lawan… ya jelas tidak ada peluang menang. Yuden sudah menyerap Mana Material dan semakin kuat. Kemampuan Ripper masih bisa dipakai. Tapi semua kemampuan itu sudah kebaca oleh Thousand Tricks. Atau… lebih dari itu, bahkan kalau pria itu sampai bisa menjinakkan Phantom dari Shrine of Origins—
“…Tunggu, masih ada satu cara. Satu-satunya cara untuk mengalahkannya—!”
“!?”
Tangan yang megang tombak gemetar tanpa Adler sadari. Dia sendiri takut dengan rencana gila yang kepikiran barusan.
Seperti petir yang menyambar di kepala. Adler terengah-engah, jantung berdetak kencang mau copot. Ujung jari-jari sedingin es. Dunia seperti muter sebentar sebelum dia bisa menggenggam tombaknya lebih erat.
Adler tidak akan kepikiran cara ini beberapa jam yang lalu. Ini ide yang terlalu gila. Apa ini karena dia terpengaruh dengan cara Thousand Tricks melakukan semuanya?
Dia mengatur napas dan mulai mengecek kemungkinan berhasilnya rencana ini.
Adler, sudah menghadapi banyak negara dan mengendalikan monster-monster kuat. Kalau dia tidak bertemu Grieving Souls, mungkin dia sudah dikenal sebagai Raja Iblis Adler di seluruh dunia. Tapi masa depan itu sudah hilang.
Sekarang, kalau rencana ini berhasil… dia bakal jadi musuh umat manusia.
Tapi tidak harus sukses sepenuhnya. Yang penting, dia bisa memberi perlawanan dengan pria itu—walau cuma sekali saja.
Risikonya gila-gilaan. Tapi dia butuh bantuan Uno.
Adler menarik napas dalam-dalam, lalu menatap rekan-rekannya.
Ini rencana yang terlalu berbahaya. Kalau dia tidak cukup kuat, dia sendiri yang bakal goyah. Jadi dia berteriak.
“Uno, Quint! Kita ini Night Parade! Kita tidak boleh kalah tanpa melakukan apa-apa!”
Dia memutar tombaknya lalu menghantamkannya ke perangkat pengaduk Mana Material sekuat tenaga.
Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Tabung kaca pecah berkeping-keping, serpihannya berhamburan di udara.
Uno dan Quint hanya memperhatikan dia tanpa ngomong apa-apa.
“Kita bakal melawannya! Tidak ada ceritanya kita tunduk. Itu sama aja seperti mati! Kita bukan murid Thousand Tricks lagi! Mulai sekarang, Night Parade bakal melawan pria itu! Kalian ikut, kan!?”
“…Yaah, tidak ada pilihan lain juga, kan? Tapi kita ada peluang menang tidak, sih?”
“Sial… terserah! Kalau kita diam saja, malu aku menghadap muka Zorc lagi. Ayo, kita lakukan!”
Uno tetap tenang seperti biasa. Quint masih berani seperti dulu. Mereka tidak ragu untuk terus mengikuti Adler.
Night Parade belum selesai.
Adler menyeringai lebar, lalu mulai menjelaskan rencana terakhir ke mereka.
◇
Hitamnya lautan pohon ini seakan tunduk di bawah langkah Black World Tree. Di atas kepalanya yang rata, aku berpegangan pada bagian tongkat yang masih tampak, sambil menatap World Tree yang seakan menjulang tanpa batas.
Di bawah sana, situasi tampaknya sudah berubah lagi. Kayaknya, Black World Tree yang mengikuti arahan Tino dan sampai di tempat Sitri, sekarang malah sibuk ngejar-ngejar Lucia, Kris, sama para magi lainnya.
Aku seharusnya udah nyadar waktu si Black World Tree mulai ngejar Tino gara-gara bereaksi sama rambut Astor dkk. Tapi meskipun dia udah habisin begitu banyak Phantom, ternyata dia masih lapar aja. Phantom baru yang muncul di tengah jalan pun kayaknya nggak ada artinya buat dia. Anehnya, waktu di ibu kota, Pohon ini malah bisa dihentikan.
“Inget ini ya, dasar Manusia Lemah!!”
“Kakak! Kapan ini pohon bakalan berhenti!?”
Di atas kepala Black World Tree, suasananya sangat tenang. Cuma ada suara angin, suara Lucia dan Kris juga hampir nggak kedengeran. Dan jujur aja, aku lagi nggak ada waktu buat ngurusin mereka.
Getarannya cukup bikin aku mual.
Kayaknya salah besar deh, nggak langsung minta balikin Perfect Vacation dari Selene. Gerakan Black World Tree emang nggak terlalu keras, tapi kelamaan di atas sini malah bikin aku mabuk. Gerakan lambat dan panjang begini emang salah satu serangan yang nggak bisa ditangkis sama Safe Ring.
Aku ngeliatin World Tree untuk nenangin diri. Daunnya yang jatuh tanpa henti dari pohon raksasa itu emang selalu terlihat megah dan aneh. Walau diliatin dari sini, ujung rantingnya nggak kelihatan sama sekali. Entah berapa banyak Mana Material yang disedot buat bisa tumbuh sebesar itu.
Kalau si Black World Tree ini pengen tumbuh sebesar itu, mungkin butuh waktu ribuan tahun.
Setelah tumbuh lebih besar dari pohon-pohon lain dalam hitungan menit, sekarang pertumbuhannya udah berhenti. Mungkin, fase pertumbuhan cepatnya emang cuma di awal. Abis ini, dia mungkin bakal tumbuh pelan-pelan selama berabad-abad.
Di sebelahku, Marin (sama si Ksatria Hitam) yang juga pegangan di Black World Tree, tampak kebingungan ngeliatin World Tree.
“Makasih ya, udah bantuin. Kamu bisa balik sekarang. Aku bakal upgrade bonekamu nanti.”
“…Mati saja, sana.”
Dengan tatapan penuh dendam, Marin ngasih boneka itu ke aku sebelum menghilang. Ksatria Hitam juga udah lenyap entah kapan.
Aku langsung nyimpen boneka itu ke dalam Mimic-kun biar nggak hilang. Walaupun nggak seberguna yang kupikir, dia tetap lebih kuat dariku. Jadi mungkin nanti aku bakal minta bantuannya lagi. Harus ngemis-ngemis dulu dari sekarang…
Aku mengalihkan pandangan ke World Tree untuk ngurangin mualku. Lalu aku sadar sesuatu.
Daun-daun World Tree yang jatuh seperti hujan—rasanya sedikit lebih jarang sekarang.
Kayaknya rencana Sitri berjalan lancar. Beda sama aku yang selalu spontan dan nggak jelas.
Pas aku lagi melamun gara-gara mual dan rasa nggak berguna ini, tiba-tiba Black World Tree berhenti bergerak.
Ujung tongkat yang kugenggam memanjang, lalu sebuah kuncup kecil muncul dan mekar jadi bunga ungu kecil. Sama kayak terakhir kali dia ngamuk di Akademi Sihir Zebrudia.
Black World Tree terdiam tanpa bergerak. Mungkin sekarang dia udah kenyang.
Aku memetik bunga yang mekar itu dengan hati-hati sambil menghela napas.
Akhirnya selesai juga… Capek banget kali ini. Nggak lagi-lagi deh minjemin relik ke orang lain.
Aku masukin bunga itu ke Mimic-kun, lalu rebahan di atas sini.
Sebenernya aku nggak suka tempat tinggi, tapi langit yang terbuka tanpa ada yang menghalangi itu cukup menyenangkan. Masalah Black World Tree ini nanti biar Sitri dan yang lainnya aja yang pikirin.
Getarannya udah berhenti, akhirnya rasa mualku mulai berkurang. Setelah ngantuk berat, aku menguap lebar dan mengucek mata. Pas itu juga, Tino muncul sambil terbang naik ke atas dengan Kar-kun.
Wah, timing yang pas banget… Aku juga udah pengen turun. Meski aku bisa aja langsung lompat pakai Safe Ring, tapi kalau bisa turun dengan damai, ya mending gitu aja.
“Tino, good job. Pas banget waktunya. Maaf ya, bisa turunin aku ke bawah?”
Wajah Tino kelihatan parah banget. Ekspresi tegas yang tadi sempat muncul udah menghilang, dan pipinya agak kaku. Dia berdeham pelan, lalu menatapku dengan mata seperti anak kucing ketakutan sebelum bertanya,
“Ma-master… eeeh… sebenernya aku punya banyak yang mau aku omongin, tapi… ini beneran udahan?”
…Mana aku tahu.
Aku cuma bisa pasang senyum sambil diem aja, dan Tino malah kelihatan makin mau nangis sambil senyum kecut.
Kami turun ke tanah. Hutan yang dilewati oleh Black World Tree ternyata nggak seberantakan yang aku kira.
Kayaknya dia bisa pakai akarnya yang fleksibel buat melangkah, jadi walaupun tubuhnya segede itu, dia hampir nggak bikin kerusakan di alam sekitar… Yang hancur berantakan cuma teman-temanku doang.
Sambil menopang tubuh di pohon besar dan ngos-ngosan, Selene mengeluh,
“Aku… beneran… nyaris mati… Serangan sihir tidak mempan sama sekali…”
“Hmph… Aku tidak tahu bagaimana kau bisa bawa makhluk itu ke sini, tapi kau tetap saja tidak milih cara yang normal.”
“…Hei, Manusia Lemah. Aku nggak bakal banyak ngomong, tapi boleh nggak aku tanya satu hal, desu? Kita… beneran perlu dikejar-kejar gini, desu?”
Nada suara Lapis lebih tajam dari biasanya, dan Kris yang berkaca-kaca ikutan ngomel. Sementara itu, rasa hormat rekan-rekannya yang kemarin terkumpul pas nolongin Selene makin lama makin berkurang. Para kaum Spirit Noble emang jago di hutan, tapi ternyata tetap aja kesal kalau harus dikejar-kejar Black World Tree.
Sebenernya… kita nggak perlu dikejar juga sih. Eh, maaf ya?
“Waktu di akademi itu kelihatan lebih lemah, kan!? Aduuh, nyebelin banget!!”
“Hei, Krai-chan. Ini beneran udah nggak bakal gerak lagi?”
Liz menepuk-nepuk batang Black World Tree sambil bertanya. Bisa santai gitu nyentuh benda terkutuk yang tadi ngamuk-ngamuk… Seperti biasa, insting bertahan hidupnya udah mati rasa.
Dan mana aku tahu jawabannya!? Aku ini apaan sih buat mereka!?
Yaah, dia udah pernah dihancurin sampai jadi abu terus dibikin jadi tongkat, tapi tetap aja bisa bangkit lagi, jadi mungkin aja dia bisa gerak lagi nanti. Apa lebih baik dibakar lagi sekalian sekarang?
Pas aku lagi mikir gitu, Sitri tiba-tiba datang sambil lari-lari kecil, bareng Eliza dan KillKill-kun.
Mungkin mereka ini kelompok yang nggak sempat jadi target serangan. Mereka bergantian melihat Black World Tree yang udah diam, terus lihat Lucia dan yang lain, terakhir matanya nyangkut ke aku, lalu Sitri dengan semangat ngomong,
“Kerja bagus! Krai-san, rencana yang luar biasa! Ternyata pohon ini punya kemampuan menyerap Mana Material yang luar biasa juga, aku kira bakal tetap dipakai terus, tapi ternyata kamu stop di sini, ya!”
“Eh!? A-Ah… iya, bener. Masa iya aku terus-terusan ngejalaninnya?”
Gara-gara dia ngomong dengan penuh percaya diri, aku refleks mengangguk. Lagian aku nggak pernah niat ‘ngejalanin’ dia, pohonnya itu sendiri yang gerak sendiri.
“Aku sampai merinding! Aku terlalu fokus sama perangkat pengaduk sampai tidak kepikiran cara lain… Malu banget. Yah, aku sih jelas tidak bisa pakai pohon ini seperti Krai-san, tapi mungkin aku bisa coba bikin Sitri Slime. Dia juga bisa menyerap Mana Material, kan?”
Jangan, tolong. Dunia bisa kiamat. Merindingnya ini bukan karena kagum, kan? Pasti otaknya yang kena dampaknya.
Selene akhirnya berhasil menormalkan napasnya, lalu melepaskan diri dari pohon dan menatapku tajam. Dengan nada penuh harapan, dia bertanya,
“Jadi… ini semua… sudah selesai? Jalan baru—kelihatannya sudah kebuka…”
Liz, Selene, dan Tino semuanya nanya ke aku. Kenapa sih? Biasanya aku bakal asal jawab, tapi kali ini aku nggak mau. Soalnya kalau aku salah, aku bakal malu banget.
Aku cuma bisa senyum-senyum, dan akhirnya Sitri yang jawab,
“Setidaknya, kita berhasil mengulur waktu. Kemampuan Black World Tree untuk menyerap Mana Material masih belum kita pahami sepenuhnya, tapi kalau kita bisa mengurangi aliran Mana walau cuma sementara, Shrine of Origins pasti bakal jauh lebih lemah. Kesadaran sang dewa juga akan tertidur lagi. Bahkan untuk dewa sekalipun, manipulasi leyline seperti ini pasti di luar dugaan.”
Sitri emang selalu bicara dengan penuh keyakinan. Aku cuma bisa ngandelin dia doang.
“Iya, iya, bener banget!”
“…Jadi… kalau kita punya lebih banyak waktu, kita bisa tingkatkan perangkat pengaduk. Kalau kita teliti lebih jauh dan mengutak-atik leyline lebih dalam, kita pasti bisa menghilangkan Shrine of Origins sepenuhnya. Itu menurutku, sih. Gimana menurutmu, Krai-san?”
Meskipun aku sudah setuju sepenuh hati, entah kenapa Sitri malah kelihatan cemas waktu melihatku.
Jangan-jangan aku dikira pembawa sial? Padahal semuanya berjalan lancar sampai sejauh ini. Pasti nggak ada masalah.
“Sitri, tenang aja. Kamu udah ngelakuin semuanya dengan baik. Rencanamu kali ini juga luar biasa. Percaya diri dikit, dong.”
“……Ugh!”
“Krai-chan, kamu kejam banget…”
Liz ngelirik Sitri yang langsung terdiam, ekspresinya kayak lagi ngeliat sesuatu yang menyedihkan. Kenapa sih?
Aku cuma mau nyemangatin, terus apa yang salah?
“…Pokoknya, satu hal yang masih jadi masalah… Adler dan yang lainnya yang tiba-tiba menghilang. Jejak kehancuran perangkat itu—bukan karena Black World Tree. Aku sempat lengah karena kupikir mereka murid Krai-san.”
“Eh? Adler dan yang lain hilang?”
“…Kenapa kamu malah kelihatan senang, desu?”
Kayaknya Adler akhirnya muak sama ketidakmampuanku.
Murid seorang bandit itu ya… tetap aja bandit. Wajar kalau aku sedikit senang. Dia orang baik, sih… kalau aja dia bukan bandit, mungkin kita bisa temenan. Tapi tunggu dulu, aku nggak boleh senang terlalu cepat.
“Bentar, kita belum tahu pasti. Bisa aja mereka kabur dari tugas dan balik ke Yggdra.”
“Kamu ini, gimana bisa berani nyindir orang yang punya kemampuan Penglihatan Jauh sampai segitunya, desu?”
…Lupa. Penglihatan Jauh itu nggak banyak yang punya, jadi aku sering lupa.
Aku bertepuk tangan sekali, terus ngomong dengan suara ceria.
“Baiklah! Nggak ada gunanya berlama-lama di sini. Rencananya udah berhasil, jadi ayo kita balik ke Yggdra.”
◇
Di bagian terdalam Shrine of Origins, tempat di mana kekuatan paling besar di dunia ini terkumpul, kesadaran sang Dewa Bertopeng, Keller, kembali muncul.
Kuil itu bergetar seiring bangkitnya kesadaran sang dewa, dan para pendeta tingkat tertinggi yang berlutut paling dekat langsung bersujud dalam-dalam.
Keller sebenarnya tidak berniat untuk bangun. Begitu sadar, ia segera mencari tahu penyebabnya.
Hal pertama yang langsung ia sadari adalah ada sedikit gangguan dalam doa para pendeta. Sekecil apa pun, doa di kuil ini seharusnya selalu sempurna, apalagi para pendeta yang ada di ruangan ini adalah orang-orang pilihan—mereka yang diizinkan untuk berada paling dekat dengan dewa, yang sepenuhnya mendedikasikan diri mereka untuk berdoa dan menerima petunjuk ilahi dari kesadaran Keller.
Tapi sekarang, bahkan di hadapan sang dewa, mereka terlihat gelisah. Para pendeta tingkat tertinggi, para Familiar, tidak akan mungkin menunjukkan kegelisahan jika bukan dalam situasi yang benar-benar darurat.
Dan alasannya, Keller tidak butuh waktu lama untuk mengetahuinya.
Aliran deras Mana Material yang mengalir ke Shrine of Origins melalui jalur leyline tiba-tiba melemah.
Mana Material adalah elemen paling krusial bagi Treasure Vault. Keller dan para Familiar-nya sudah menyadari pentingnya energi ini sejak dulu, sejak sebelum mereka musnah. Bahkan, bagi mereka yang ada di zaman sekarang, energi ini jauh lebih berharga dari sebelumnya.
Wajar jika kesadarannya bangkit. Treasure Vault dibangun dari Mana Material, para Phantom lahir dari energi itu, dan kebangkitan Keller sendiri bergantung padanya.
Kuil ini bukan bangunan fisik. Kalau aliran Mana Material terus berkurang, kuil ini akan melemah secara langsung.
Tanpa kekuatan, perangkap dan senjata yang dulunya mengisi kuil tidak akan bisa dipertahankan, Phantom-Phantom tidak akan bisa lahir, dan kebangkitan Keller akan semakin jauh dari jangkauan.
Kuil ini sendiri membakar jumlah Mana Material yang luar biasa besar hanya untuk tetap ada. Kalau aliran energi tidak kembali normal, dalam waktu dekat Shrine of Origins akan benar-benar lenyap.
Keller memang dewa. Tapi saat ini, ia hanya kesadaran tanpa tubuh. Jika ia punya tubuh fisik, mungkin ia masih bisa bertahan meski aliran energi terhenti. Tapi dalam keadaan sekarang, ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Ia mencoba berbicara dengan para pendeta untuk memahami situasi, tapi penyebab dari krisis ini tetap tidak jelas.
Yang ia tahu hanyalah mereka telah mengikuti petunjuknya dengan taat.
Dalam laporan mereka, ada kecemasan dan kebingungan yang jelas. Para pendeta ini memang setia, cerdas, dan punya kebanggaan tinggi. Mereka tidak akan pernah berkhianat. Tapi, ada kemungkinan laporan mereka tidak sepenuhnya objektif. Atau mungkin──bisa jadi mereka sendiri memang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Apakah ini akibat ulah seseorang, atau sekadar fenomena alam? Apakah bisa ditangani, atau tidak?
Namun ada satu hal yang Keller harus hindari saat ini—ialah bergerak sendiri.
Kondisinya belum sempurna. Ia bahkan belum bisa menggunakan sepersepuluh dari kekuatannya, dan pikirannya pun masih kabur.
Dan yang paling gawat—bahkan hanya dengan kesadarannya saja, Shrine of Origins ini sudah menanggung beban yang terlalu besar.
Dalam wujud ini saja, kekuatan yang ia konsumsi setara dengan seratus Familiar tingkat tertinggi. Kalau ia memaksa menggunakan kekuatan lebih, kuil ini bakal mulai runtuh.
Ia hanya butuh satu detik untuk memutuskan.
Untuk sementara, ia akan menyerahkan pengawasan kepada para pendeta. Selama kesadarannya tenggelam kembali, kuil ini tidak akan langsung lenyap.
Kekuatan pohon ini luar biasa. Jika aliran Mana Material kembali normal, ia pasti bisa bangkit lagi dalam waktu dekat. Bagi seorang dewa, seratus atau dua ratus tahun hanya terasa seperti tidur siang.
Tapi tepat saat ia hendak kembali tidur—retakan muncul di ruang sekitarnya.
Penyusup tak diundang.
Dari retakan itu, muncul seekor kelabang raksasa… dan tiga orang manusia.
Karena kesadaran Keller bangkit, penghalang yang seharusnya menjaga ruang ini terputus dan tidak bisa lagi menghalangi mereka masuk.
Secara refleks, ia mengerahkan kekuatannya untuk menilai mereka. Ini bukan sekadar naluri, tapi sifat dasar seorang dewa yang pernah dimusuhi dunia dan dihancurkan.
Kekuatan, emosi, keberadaan, jiwa, dan aroma yang melekat pada mereka…
Dan seketika itu juga, ia mengerti. Merekalah yang mengawasinya.
Para pendeta tingkat tertinggi langsung mengangkat tongkat ritual mereka, siap menyerang para penyusup.
Tapi Keller menghentikan mereka.
Kalau mereka sudah sampai sejauh ini, pasti ada alasan.
Kemungkinan bahwa mereka dikirim oleh dewa lain pun lenyap. Dari dekat, ia bisa melihat bahwa kemampuan melintasi ruang yang mereka gunakan bukanlah keajaiban dewa, melainkan hasil dari mutasi. Dunia ini memang kadang suka bermain-main dengan takdir seperti ini.
Apa yang ia rasakan dari mereka adalah campuran kegembiraan dan rasa takut. Mereka lemah, tapi tetap berdiri di hadapannya bahkan setelah bersentuhan dengan kesadarannya. Itu sudah cukup membuktikan bahwa mereka bukan orang biasa.
Mata mereka berbinar terang.
Wanita berambut hitam yang berdiri di depan membuka mulutnya.
“Dewa, akhirnya kita bertemu. Waktu kita tidak banyak, jadi aku akan langsung ke intinya. Kami adalah Night Parade, dan aku, Raja Iblis zaman ini. Aku tidak tahu apakah kau bisa mengerti, tapi—kalian sedang terdesak. Kami ingin membuat kesepakatan.”
Berani sekali manusia ini, mencoba bernegosiasi dengan dewa. Jelas dia tidak tahu tempatnya.
Memang, wanita ini kuat. Manusia telah berevolusi. Dibandingkan dengan manusia di zaman Keller dahulu, kekuatannya bagaikan langit dan bumi.
Tapi… masih belum cukup.
Tak ada alasan baginya untuk bernegosiasi dengan seseorang di level ini.
Ia hanya menatap mereka dalam diam.
Namun, wanita itu hanya tersenyum lebar dan melanjutkan.
“Situasi ini disebabkan oleh sang Pahlawan dari zaman ini. Kami akan memberimu informasi. Sebagai gantinya, kami ingin kekuatanmu—pasukanmu. Pasukan terkuat yang bisa mengalahkan musuh mana pun.”
…Menarik.
Tadinya ia ingin kembali tidur. Tapi, sekarang ia berubah pikiran.
Di balik mata wanita itu, ada ketakutan yang samar. Tapi bukan terhadap Keller—melainkan kepada pahlawan yang ia bicarakan.
Biasanya, manusia bukanlah pihak yang layak untuk bernegosiasi dengan dewa.
Tapi kalau ada seseorang yang bahkan lebih ditakuti daripada dewa itu sendiri…
Maka, mungkin ada baiknya melihat sendiri kekuatan Pahlawan zaman ini.


